Merebaknya pandemi Covid-19 telah memberikan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat Indonesia. Data Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia menunjukkan sebanyak lebih dari 200.000 karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja. Selain itu, ada sekitar 37.000 UMKM mengaku terdampak usahanya secara negatif.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah meluncurkan program Kartu Prakerja, sebagai salah satu bagian dari kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sebagai bentuk respons terhadap dikeluarkannya program Kartu Prakerja ini, Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM melakukan riset yang bertujuan untuk mengetahui potensi penerapan program Kartu Prakerja dengan mempertimbangkan lanskap digital di Indonesia.
Riset CfDS kali ini dilakukan 8 peneliti, yaitu Treviliana Eka Putri, Paska Darmawan, Anisa Pratita Kirana Mantovani, Anaq Duanaiko, Janitra Haryanto, Iradat Wirid, Raka Wicaksana dan Riawan Hanif Alifadecya. Sementara untuk hasilnya disampaikan dua peneliti, yaitu Treviliana Eka Putri, M.Int.Sec. dan Paska Darmawan, M.S melalui konferensi pers daring pada Kamis (23/4).
Treviliana menjelaskan program Kartu Prakerja adalah sebuah program peningkatan keterampilan melalui kelas-kelas dengan penerapan berbasis digital. Dengan anggaran total sebesar 20 triliun rupiah, program Kartu Prakerja menyasar 5,6 juta orang penduduk Indonesia yang nantinya berhak mendapatkan insentif finansial dengan total besaran 3.550.000 rupiah apabila telah menyelesaikan kelas-kelas pelatihan yang telah disediakan dalam mekanisme Kartu Prakerja.
“Memang Kartu Prakerja belum lama berjalan, tapi jika melihat dari mekanisme dan siapa yang bisa mendapat, masyarakat menilai program ini kurang efektif untuk diaplikasikan karena hanya terbatas pada orang-orang tertentu,” ujarnya.
Belum lagi soal kelas-kelas yang ditawarkan, menurut Treviliana, pemerintah perlu lebih mengkurasi lagi dari program-program yang ditawarkan. Sebab, jika Kartu Prakerja sebagai Jaring Pengaman Sosial, kartu tersebut dinilai tidak inklusif bagi banyak orang, ia hanya menyasar secara terbatas untuk orang-orang yang bisa mengakses.
Jika memang sebagai Jaring Pengaman Sosial, Kartu Prakerja idealnya menjadi sebuah program yang bisa diakses banyak orang. Jika ini sebagai program upskliling atau menambah keterampilan, dinilainya program Kartu Prakerja muatannya kurang mendalam.
“Kalau memang serius untuk menambah keterampilan mestinya fokus materi yang pas dengan harga yang tidak mahal. Terlebih di masa sulit akibat PHK karena pandemi Covid-19, tentu masyarakat akan lebih tertarik menerima bantuan tunai,” katanya.
Kartu Prakerja diperuntukan 1 dari 5 penduduk Indonesia usia 15-24 tahun yang tidak sedang bekerja, sekolah atau dalam masa pelatihan. Total bantuan yang diberikan 3.550.000 rupiah dengan rincian biaya bantuan pelatihan sebesar 1 juta rupiah, insentif penuntasan 600 ribu rupiah per bulan selama 4 bulan dan insentif survei kebekerjaan 150 ribu rupiah.
Bagi Treviliana, peluncuran Kartu Prakerja sebagai Jaring Pengaman sosial selama masa pendemi Covid-19 dinilai sebagai program paling berbeda dibandingkan dengan program JPS negara-negara lain. Sebab, di banyak negara lain di saat pandemi Covid-19 lebih memilih memberikan bantuan yang bersifat langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
“Meskipun kondisi negara berbeda-beda dan kita sudah mengeluarkan keringananan pembayaran listrik dan lain-lain, tapi meluncurkan program upsklilling di Kartu Prakerja di era Covid-19 sebagai Jaring Pengaman Sosial, saya nilai kurang tepat,” ucapnya.
Paska Darmawan, M.S menambahkan dari riset CfDS terhadap Kartu Prakerja ditemukan beberapa kelas menaruh tarif cukup mahal, meskipun muatan kelas tersebut sama dengan kelas-kelas lain tetapi bisa dengan biaya murah. Misalnya, ada kelas digital marketing melalui webinar mematok harga 3,5 juta rupiah, sementara ada kelas lain yang muatannya hampir sama dengan biaya yang jauh lebih murah.
Paska menilai mayoritas kelas yang ditawarkan lebih pada pengembangan kapasitas digital dari individu yang mengikuti program ini. Menurutnya, program seperti ini bisa mendapat apresiasi untuk beberapa tahun kedepan, tapi untuk saat ini perlu mempertimbangkan ada kesejangan digital pada masyarakat Indonesia.
“Beberapa wilayah di Indonesia tidak memiliki sinyal kuat untuk mengakses internet, sementara sebagaian besar masyarakat memakai internet dengan kuota data sehingga ketika mereka harus dituntut mengakses konten dari kelas, dan hampir semua berbasis video tentu ini akan menyulitkan mereka dalam mengakses konten tersebut,” terangnya.
Belum lagi soal infrastruktur, masih banyak masyarakat mengakses internet menggunakan smartphone, sementara beberapa kelas dalam Kartu Prakerja untuk menampilkan lebih baik misalnya menuntut penggunaan laptop.
“Sehingga kesenjangan semacam ini perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengimplementasikan Kartu Prakerja ini,” katanya.
Hal lain, pemerintah perlu mempertimbangkan aksesibilitas dan kapasitas pemegang Kartu Prakerja dalam mengikuti kelas-kelas ini. Pemerintah perlu menjamin keamanan dan privasi data dari peserta Kartu Prakerja terutama terkait data sharing dari pemerintah, platform maupun pihak ketiga lainnya.
Paska mengakui kesejangan digital memberikan dampak yang signifikan terhadap siapa saja yang berkeinginan mendaftar Kartu Prakerja, sebab untuk mendaftar saja diperlukan kuota internet cukup besar. Belum lagi persoalan sinyal internet yang menuntut cukup kuat karena untuk mengunggah foto dan lain-lain.
“Jadi, di awal saja sudah ada kesenjangan digital sehingga bisa disimpulkan Kartu Prakerja sebagai Jaring Pengaman Sosial ini belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memilikirkan agar ini bisa terjangkau oleh semua, untuk merangkul lapisan masyarkat yang tidak memiliki akses internet yang cukup memadai,”harapnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto: Detik Finance