Peringatan hari bumi tahun ini yang mengangkat isu utama mewujudkan “zero-carbon future” tidak ada yang istimewa, bahkan isunya seolah tenggelam di tengah pandemi virus corona yang melanda semua penduduk dunia. Bahkan, ada rencana aksi global bertema “EarthRise” pun tidak dapat terlaksana. Meskipun demikian, selama masa pandemi berlangsung setidaknya bumi nampak lebih sehat karena berkurangnya laju emisi kendaraan, pabrik-pabrik dan aktivitas industri esktraksi menghentikan sementara aktivitasnya, serta kota-kota berkurang aktivitasnya yang sekaligus berkurang konsumsi energinya.
“Selama masa di rumah saja dan PSBB ini, langit Jakarta menjadi lebih cerah dan biru, bahkan Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrangro terlihat dari Jakarta. Sesuatu yang tidak akan terjadi di situasi Jakarta normal sehingga cukup ramai di dunia maya kemarin penampakannya,” kata Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM, Dr. Pramono Hadi, M.Sc., Jumat (24/4).
Dampak pandemi dari sisi ekonomi dan kesehatan menurutnya sangat mengakhawatirkan, namun masih sedikit yang melihatnya dari ukuran lingkungan. Sebab, belum ada penelitian khusus dan detail tentang hal tersebut. Namun, kondisi perubahan positif yang terjadi pada lingkungan saat ini terjadi bukan pada kondisi yang semestinya diharapkan. Manurutnya, kondisi saat ini menjadi suatu ironi, namun dampaknya dari sisi lingkungan cukup signifikan. Ia mencontohkan di negara-negara lain demikian juga, sungai Venice menjadi sangat bersih selain tenang, konsumsi BBM menjadi sangat berkurang bahkan di AS nilai per barel-nya sampai ke angka minus. “Bahkan, satwa-satwa liar di Afrika lebih bebas “bersantai” di jalan yang biasanya menjadi jalur Safari. Di New York, penurunan polusi tercatat sampai 50 persen,” katanya.
Belajar dari keadaan kesehatan bumi di masa pandemi ini, ia berharap warga dunia dapat menjadi lebih bijak daan memahami bahwa keharmonisan dengan alam itu diperlukan untuk menuju suatu keseimbangan dan keberlanjutan.
Ia mengajak masyarakat untuk mulai dan semakin peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Peduli pada lingkungan itu tidak identik dengan menjadi aktivis lingkungan atau penyelamat hutan, tapi juga dapat melalui bentuk kepedulian terhadap hal-hal sederhana yang dapat ikut berkontribusi dalam penyelamatan bumi, seperti hemat listrik, hemat penggunaan air, tidak berlebihan dalam konsumsi, serta mengurangi penggunaan plastik, 3R (reduce, reuse, recycle), termasuk dengan memelihara tanaman atau kebun di rumah.
Tentang sampah, ujarnya, saat ini produksi limbah rumah tangga didominasi plastik yang notabene tidak dapat terurai. Membutuhkan waktu 100-400 tahun untuk mendekomposisi plastik sehingga seharusnya menjadi kesadaran kita termasuk pemerintah bahwa sistem pengolahan sampah di TPA tidak bisa lagi dilakukan secara tradisional atau sanitary land fill yang 20-30 tahun lalu menjadi model TPA idealis. Mestinya saat ini kita harus sadar, bahwa sampah harus berbayar. Menurutnya, perlu dukungan semua pihak agar ada UU tentang sampah berbayar. Nilainya tergantung volume yang dibuang oleh setiap individu, atau RT, atau kelompok. “Kenapa berbayar, karena untuk biaya pengelolaan. Kalau mereka keberatan buang sampah karena harus bayar mahal, ya lakukan 3R, sehingga volume sampah yang harus dibuang dan berbayar menjadi sedikit. Hal ini tentu juga akan memengaruhi gaya hidup,” katanya.
Ia menambahkan jika masyarakat memiliki komitmen tentang penanganan sampah dan lingkungan maka itu merupakan tindakan nyata menyelamatkan bumi ini. Ia mengutip sebuah riset dari Pusat Penelitian Iklim dan Lingkungan Internasional di Oslo yang mencatat bahwa secara umum, emisi global pada 2020 diperkirakan turun sebesar 0,3 persen dengan kondisi pandemi ini. “Kondisi ini tentu saja bisa naik kembali secara signifikan sehingga fokus perbaikan ekonomi pasca pandemi semestinya juga perlu untuk memprioritaskan penggunaan energi yang terbarukan,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson