
Hari Peduli Sampah Nasional yang jatuh setiap tanggal 21 Februari ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka mengenang peristiwa longsornya TPA Leuwigajah, Cimahi Jawa barat, 20 tahun lalu pada tanggal 21 Februari 2005. Peristiwa longsor sampah ini menimbun banyak rumah warga, sampai memakan 157 korban jiwa. Insiden ini termasuk bencana longsoran sampah terparah kedua di dunia.
Berkaca dari peristiwa kelam tersebut, agar tidak terulang kembali, pengelolaan sampah terintegrasi harus betul-betul menjadi perhatian, karena tak hanya berdampak pada lingkungan dan masyarakat sekitar namun juga pada lingkungan dan ekosistem global serta berdampak pada perubahan iklim.
Memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), Universitas Gadjah Mada melalui Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (Ditmawa) dan Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) secara konsisten menunjukan komitmennya dalam isu-isu lingkungan khususnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan dengan menyelenggarakan Lokakarya Pengelolaan sampah yang bertempat di Rumah Inovasi Daur Ulang (RinDU) PIAT UGM, di Kelurahan Kalitirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta.
Ratusan peserta lokakarya mengikuti pemaparan mengenai pengelolaan sampah di PIAT UGM seraya menyaksikan langsung proses pengelolaan, seperti budidaya Maggot BSF, pengomposan daun, dan pemilahan dan pencacahan sampah. “Para Peserta juga belajar tentang praktik pembuatan eco-enzyme, dan juga pembuatan ember tumpuk,” kata Pipit Noviyani, S.Si, pengelola PIAT, dalam keterangan kepada wartawan, Senin (24/2).
Menurut Pipit, melalui kegiatan lokakarya kunjungan langsung dalam pengelolaan sampah secara terpadu ini dapat memotivasi peserta untuk melaksanakan hal yang sama di unit kerja masing-masing. “Informasi apapun diperoleh peserta hari ini harapannya dapat memotivasi Bapak dan Ibu dalam memperbaiki lagi atau meningkatkan kembali pengelolaan sampah yang dilaksanakan di unit masing-masing,” harapnya.
Dalam kegiatan berkeliling di Rumah Inovasi Daur Ulang (RinDu), semacam Laboratorium daur ulang sampah dan limbah ini, Arief Mujaab, selaku petugas menjelaskan secara rinci bagaimana cara budidaya maggot selama kurang lebih 14 hari yang bermula dari telur, larva, pupa, lalat muda, hingga lalat dewasa yang mampu mempercepat penguraian limbah.
Selanjutnya, para peserta diajak melihat langsung teknologi pemilahan dan pencacahan sampah menggunakan mesin. Sedikit bercerita, Arief menjelaskan bahwa sampah yang berada di PIAT merupakan sampah yang berasal dari seluruh UGM dan bisa mencapai 2 sampai 3 truk tiap harinya. “Tipa harinya sekitar 2-3 truk sampah yang dikirim ke sini untuk didaur ulang,” paparnya.
Kemudian hasil dari sampah-sampah yang sudah dipisahkan menjadi anorganik dan organik ini dimanfaatkan ulang. Sampah anorganiknya seperti sisa-sisa plastik akan digunakan untuk dibuat paving block dengan kerjasama bersama pihak ketiga. Lalu untuk botol-botol dijual kembali, dan sampah organiknya yang menjadi bahan kompos, sedang sisa makanan dari UGM dimanfaatkan untuk budidaya maggot. “Sisa makanan kami dapatkan dari kantin-kantin UGM terutama dari Pujale, Wisdom Park dan yang paling banyak dari RSA UGM, tapi hanya yang non-infectious,” jelasnya.
Tidak hanya itu, peserta juga diajak ke area pengomposan daun, yang kemudian dilanjutkan sesi materi pengomposan dan pengelolaan sampah organik. “Kenyataanya di Indonesia, 50 persen sampahnya organik, termasuk di UGM Itu sampah organiknya 60 persen, dan itu baru dari sampah daunnya,” jelasnya.
Amin Susiatmojo, S.Pt., M.Sc. selaku Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat mengharapkan dengan adanya kolaborasi antar unsur di UGM, maka permasalahan sampah di UGM bisa teratasi. “Kita menginginkan sampah di UGM bisa diselesaikan secara mandiri sehingga tidak membebani pemerintah daerah. Saya kira proses teknologi daur ulang sampah di PIAT ini menjadi contoh yang baik bagi perguruan-perguruan tinggi yang lain melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson