
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, saat ini telah merembet ke hampir seluruh bidang masyarakat. Salah satunya adalah pemangkasan anggaran infrastruktur yang dipotong secara drastis dari yang semula sebesar Rp110,95 triliun menjadi Rp81,38 triliun. Pemangkasan ini tentu akan berpengaruh terhadap berbagai proyek infrastruktur, termasuk pembangunan bendungan dan saluran irigasi.
Pembangunan bendungan ini tentu memiliki peran penting dalam mendukung sektor pertanian. Bendungan menyimpan air di musim hujan untuk digunakan saat musim kemarau, sehingga menjamin ketersediaan air sepanjang tahun. Hal ini memungkinkan peningkatan jumlah musim tanam serta perluasan lahan pertanian, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produksi pangan. Namun, jika pembangunan bendungan dihentikan demi adanya efisiensi anggaran, target swasembada pangan bisa terancam.
Hal ini dikatakan oleh Endita Prima Ari Pratiwi, S. T., M. Eng, Ph.D., salah satu dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM. Menurutnya, meski tanpa adanya pemangkasan, anggaran untuk irigasi saat ini sudah bisa disebut terbatas. Hal ini terlihat dari saluran irigasi yang kondisinya banyak yang rusak. Bisa jadi, ia mengatakan, karena anggaran memang kurang. “Pemotongan anggaran bisa jadi efisien jika tepat sasaran. Alokasi anggaran untuk pembangunan, rehabilitasi, dan pemeliharaan infrastruktur irigasi seharusnya tetap menjadi prioritas,” tuturnya ketika diwawancara wartawan, Kamis (27/2).
Ia mengutip Peraturan Menteri PUPR No. 14 tahun 2015 tentang Kriteria dan Penetapan Status Daerah Irigasi, Indonesia memiliki daerah irigasi sebesar 9,14 juta hektar. Meski saat ini luas tersebut sudah berubah dan sebagian berkurang karena perubahan tata guna lahan dan urbanisasi, ada juga pengembangan daerah irigasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa sekitar 1 juta hektar lahan pertanian produktif telah beralih fungsi karena urbanisasi. Sementara, pada RPJMN 2019-2024, target pembukaan daerah irigasi baru adalah 1 juta hektar. “Perlu dicatat bahwa daerah irigasi yang baru dibuka, terutama di daerah dengan tanah-tanah marginal, tidak dapat seproduktif daerah irigasi yang sudah ada sejak lama dengan tanah yang matang dan subur,” jelasnya.
Melihat data Kementerian PUPR tahun 2014, jaringan irigasi kewenangan pemerintah pusat yang berada dalam kondisi baik sekitar 77%, namun Endita menuturkan lebih dari separuh jaringan irigasi yang dikelola pemerintah daerah berada dalam kondisi rusak. “Segala kerusakan yang terlihat dari kondisi jaringan irigasi di Indonesia ini tentu bisa disebabkan oleh kemampuan anggaran pemerintah daerah yang tidak sekuat pemerintah pusat,” paparnya.
Endita mengkhawatirkan jika anggaran Kementerian yang dipotong adalah anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan, rehabilitasi, dan pemeliharaan infrastruktur, maka yang akan terjadi adalah semakin banyak jaringan irigasi yang rusak dan tidak terawat sehingga tidak dapat mengalirkan air sesuai yang direncanakan. “Akibatnya, air yang dibutuhkan oleh tanaman tidak bisa sampai ke lahan pertanian, tentu produksi pertanian pun akan menurun,” katanya.
Di tengah pengurangan anggaran ini, tambahnya, selain perbaikan dan penambahan jaringan irigasi, penguatan teknologi pertanian seperti program modernisasi irigasi sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas. Namun, modernisasi membutuhkan infrastruktur irigasi yang memadai dan anggaran yang signifikan. Oleh karena itu, langkah yang lebih mendesak adalah menyelesaikan masalah sosial seperti memperbaiki tata kelola dan kepastian hukum di bidang irigasi. “Seringkali, kendala sosial dan non-teknis menjadi hambatan dalam mewujudkan jaringan irigasi yang efisien, sehingga perbaikan di aspek ini akan memberikan dampak jangka panjang bagi produktivitas pertanian,” pungkas Endita.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok.Kementerian PUPR