
Indonesia memiliki potensi yang besar di bidang energi terbarukan. Sayangnya, pemanfaatannya sumber energi masih tergolong minim dibandingkan dengan sumber daya fosil yang bersifat tidak terbarukan. Padahal pemerintah menargetkan untuk menurunkan emisi karbon di tengah ancaman kembalinya deforestasi melalui proyek strategis nasional di bidang pangan. Oleh karena itu, Pemerintah diminta untuk menghentikan laju perusakan hutan alam dan menghitung secara seksama soal kebutuhan lahan untuk pangan nasional agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan di kemudian hari.
Hal itu mengemuka dalam Kuliah Bestari Spesial Ramadhan yang diselenggarakan oleh Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (MDGB-PTNBH) yang bertajuk ‘Krisis Energi, Lingkungan Hidup, dan Kebencanaan’, Selasa (25/3) lalu, di kanal Youtube UGM.
Pengembang Energi Listrik Tenaga Mikro Hidro, Tri Mumpuni, yang hadir sebagai pembicara mengatakan Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang besar yang belum dikelola secara optimal dan maksimal. Namun begitu, imbuhnya, pemerintah lebih cenderung mempertahankan sistem pemanfaatan energi yang tidak efektif dan tidak berkelanjutan, meskipun ada banyak potensi energi terbarukan yang belum dikembangkan.
Menurutnya, diperlukan kebijakan demokratisasi energi yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan dan pengelolaan energi dan sumber daya mereka sendiri. Dengan cara ini, pembangunan akan lebih berkelanjutan dan masyarakat bisa menjadi lebih mandiri dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki. “Demokratisasi energi memberikan ruang kepada masyarakat untuk mampu membangun dirinya sendiri dan pemerintah cukup menyediakan infrastruktur dan membuka akses untuk mereka,” kata Tri Mumpuni.
Sementara Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Prof. Dr. San Afri Awang menuturkan Indonesia saat ini menghadapi tantangan sekaligus ancaman deforestasi, bencana iklim, dan transisi energi terbarukan. Adapun sumberdaya hutan berperan penting dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, pemantauan dan pengelolaan sumber daya hutan harus benar-benar dilaksanakan sebaik-baiknya.
San Afri juga memaparkan bahwa kondisi deforestasi di Indonesia sudah cukup parah, bahkan mencapai angka 261.575 hektar pada tahun 2024. Angka ini akan semakin meningkat dengan adanya Proyek Strategi Nasional di bidang pangan dengan membuka 3 juta hektar lahan pada tahun 2025-2029. Hal ini berkebalikan dengan target penurunan emisi sebesar 31,8-43,2% pada tahun 2030. Ia mempertanyakan kemungkinan target tersebut tercapai apabila Proyek Strategi Nasional tetap dilanjutkan. “Hentikan perusakan hutan alam, kalkulasi dengan jujur dan benar kebutuhan lahan untuk pangan nasional,” pungkas Awang.
Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Geografi UGM Prof. Muhammad Baiquni menegaskan pembangunan perlu memperhatikan daya dukung lingkungan. Pasalnya, apabila lingkungan sudah tidak mampu menampung kerusakan di bumi, maka ditakutkan akan terjadi malapetaka yang mengancam kehidupan manusia. Bahkan krisis ekologi akan berbuntut pada krisis ekonomi moneter, terutama pada negara yang bergantung pada sumber daya alam seperti Indonesia. “Kita harus belajar dari tahun 1997-1998 ketika krisis ekonomi moneter diikuti oleh kemarau panjang. Dampaknya, banyak sekali korban kelaparan, gagal panen, dan itu berimbas pada ekonomi secara keseluruhan. Tentu saja kita tidak ingin mengulangi persoalan di masa lalu,” ujar Baiquni.
Penulis : Tiefany
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik