
Film animasi “Jumbo” viral di masyarakat setelah sukses meraih empat juta penonton. Film ini mengangkat realita hubungan keluarga dan anak yang dikemas dalam kisah unik perjalanan Don dan kawan-kawan. Wulan Nur Jatmika, S.Psi., M.Sc., pakar psikologi anak Universitas Gadjah Mada memberikan ulasan film “Jumbo” dari sisi psikologi serta pesan bagi orang tua untuk mendampingi tumbuh kembang anak.
Disampaikan Wulan, film “Jumbo” memuat pesan berlapis yang bisa ditangkap berbeda oleh penonton di segala usia. Terdapat moral tentang persahabatan, cara menjadi teman yang baik, saling tolong-menolong, dan cerita petualangan seru yang menghibur untuk anak-anak. Sedangkan bagi penonton dewasa, ada perasaan nostalgia melalui alur cerita yang menyentuh sampai dinamika psikologis setiap karakternya. “Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi para seniman yang telah bekerja keras mewujudkan film ini dengan kualitas animasi, alur cerita, serta perkembangan karakter yang baik, diperkaya dengan banyak hikmah yang bisa dijadikan bahan refleksi,” tutur Wulan di Kampus UGM, Senin (21/4).
Wulan menyebut sejumlah realita sosial dalam film “Jumbo” mencerminkan pengaruh keluarga dan lingkungan pada kondisi psikologis anak. Salah satunya adalah Adverse Childhood Experiences (ACEs) atau kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum anak menginjak usia 18 tahun dan berpotensi menimbulkan trauma. Kejadian seperti kehilangan peran orang tua, diabaikan, menyaksikan atau mengalami kekerasan, dan disfungsi sosial keluarga dapat memberikan pengalaman traumatis bagi anak.
Refleksi ACEs dapat ditemukan pada latar belakang beberapa karakter film “Jumbo”. Misalnya, Don yang kehilangan orang tua, Atta yang tumbuh tanpa orang tua dan dalam kondisi kemiskinan, serta Maesaroh dan Nurman yang dikisahkan hidup bersama kakek tanpa peran orang tua secara emosional. “Kondisi ini mencerminkan realita sosial Indonesia, di mana anak-anak dengan ACEs bisa dengan mudah ditemukan di sekitar kita,” ungkap Wulan.
Selain itu, Wulan juga menyoroti isu perundungan anak-anak yang diceritakan dalam hubungan antara Don dan Atta. Menurutnya, perundungan adalah masalah nyata yang kompleks pada lingkungan anak-anak. Baik pelaku maupun korban perundungan berpotensi mengalami masalah kesehatan mental di kemudian hari. “Anak yang menjadi pelaku perundungan biasanya juga bukan tanpa sebab, banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari pola asuh negatif, pengalaman masa lalu sebagai korban, hingga lingkungan sosial yang tidak sehat,” jelas Wulan.
Uniknya, Don sebagai korban perundungan menerima dukungan emosional yang baik, sehingga tetap ceria dan percaya diri. Kasus ini menunjukkan bahwa pencegahan perundungan tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu ada upaya untuk meminimalisir faktor-faktor resiko seperti pola asuh negatif, lingkungan yang penuh tekanan, atau ketidaksetaraan sosial. Sebagai upaya preventif, diperlukan juga penguatan faktor protektif, yakni kedekatan yang baik dengan orang tua atau pengasuh, dukungan sosial, lingkungan sekolah yang aman, dan sistem dukungan di masyarakat.
Melalui film “Jumbo”, penonton dihadapkan pada realitas terhadap peran keluarga dan lingkungan bagi pengembangan karakter anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk membekali anak bukan hanya dengan apa yang mereka inginkan, tapi yang benar-benar mereka butuhkan. “Orang tua perlu menyadari bahwa setiap hal yang dilakukan dalam proses pengasuhan, terutama di usia 0-5 tahun, bisa berdampak besar dan jangka panjang bagi masa depan anak,” terang Wulan.
Wulan menambahkan, anak membutuhkan bekal cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa syarat, nilai-nilai kehidupan, dan panduan moral yang baik. Kehadiran orang tua diperlukan untuk memberi arahan agar anak mampu mengenal dan mengatur emosi diri, serta mendapatkan ilmu dan wawasan yang luas. “Dengan bekal-bekal itu, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, sehat, mandiri, dan siap menghadapi tantangan hidup,” pungkasnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Visinema Pictures