
Kekerasan seksual dan ketimpangan gender masih menjadi persoalan serius yang dihadapi perempuan di berbagai lini kehidupan, termasuk di lingkungan akademik. Kampus yang seharusnya menjadi ruang belajar dan tumbuh justru kerap menjadi tempat munculnya praktik diskriminatif, stereotip gender, hingga kekerasan berbasis seksual. Oleh karena itu, penting bagi warga kampus untuk membangun lingkungan yang mendukung kesehatan jiwa dan sosial setiap individu.
Hal itu mengemuka dalam seminar yang bertajuk “Creating Safe Spaces: Safe Academics and Safe Workplaces for Gender Equality”, Senin (21/4), di Auditorium IFI Yogyakarta. Seminar yang diselenggarakan oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Institut Français Indonesia (IFI) ini menghadirkan pembicara yakni Dr. Gisèle Szczyglak dari WLC Partners yang merupakan seorang pakar etika dan transformasi organisasi dari Paris, Prof. Dra. Raden Ajeng Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., selaku Kepala Satgas PPKS UGM, dan Diah Kusumaningrum, M.A., Ph.D., selaku Dosen dari FISIPOL UGM.
Direktur IFI, François Dabin, dalam sambutannya menyoroti peran penting Kartini sebagai pelopor perjuangan perempuan Indonesia. Ia menekankan bahwa memperjuangkan hak-hak perempuan merupakan elemen kunci dalam melanjutkan semangat Kartini di era modern. “Perempuan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat yang adil dan seimbang. IFI juga selalu menjadikan kesetaraan gender dan feminisme sebagai prioritas dalam berbagai program budayanya,” ujarnya.
Yayi Suryo Prabandari, membahas soal kiat-kiat untuk menjadikan kampus sebagai tempat pengembangan diri kompetitif yang mengedepankan keamanan dan kenyamanan dengan mengambil contoh UGM dan tindakan-tindakan satgas PPKS. Yayi menekankan pentingnya menjadikan kampus sebagai rumah kedua yang sehat secara fisik, mental, dan sosial bagi seluruh sivitas akademika. “Kampus adalah tempat belajar bagi mahasiswa, namun juga tempat bekerja bagi dosen dan tenaga kependidikan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun lingkungan yang mendukung kesehatan jiwa dan sosial setiap individu,” tutur Yayi.
Yayi juga menyampaikan bahwa Satgas PPKS UGM dibentuk sebagai upaya sistematis untuk menciptakan ruang aman di lingkungan akademik, sekaligus memberikan penanganan yang cepat dan tepat terhadap kasus kekerasan seksual. “Kami menangani korban secara terpadu, mulai dari layanan medis, konseling psikologis, pendampingan hukum, perlindungan identitas, hingga pemulihan pasca kejadian. Seluruh proses penanganan dilakukan dengan pendekatan humanis, berbasis dialog, dan memperhatikan etika serta kenyamanan semua pihak,” jelasnya.
Dosen Hubungan Internasional UGM Dr. Diah Kusumaningrum menggarisbawahi pentingnya pergeseran pendekatan emansipasi dan pemberdayaan perempuan dari kesetaraan gender menuju keadilan gender. Selama ini, ungkap Diah, gagasan emansipasi seringkali terjebak dalam cara pandang biner, perempuan dan laki-laki ataupun feminin dan maskulin. “Stereotip warna dan perilaku dibentuk sejak dini. Akibatnya, beban perjuangan emansipasi justru lebih banyak dibebankan pada perempuan muda. Bahkan, orientasi emansipasi pun sering kali tetap berpusat pada standar laki-laki atau maskulinitas,” katanya.
Tantangan untuk membicarakan isu gender juga datang dari segi budaya, agama, dan mitos sosial yang kuat. Beberapa orang menolak wacana keadilan gender dengan menyebutnya “tidak sesuai budaya kita”, “produk kebarat-baratan”, “melanggar kodrat”, atau bahkan “dosa menurut agama.” Maka dari itu, Diah mengatakan, melalui kerja komunitas dan pendidikan berbasis pengalaman, kita bisa mulai mematahkan mitos-mitos ini. “Gender diperkenalkan bukan sebagai ide asing, melainkan sebagai lensa atau cara untuk memahami pengalaman sehari-hari yang sering kali tidak terlihat karena sudah dianggap normal,” paparnya.
Sementara itu, Dr. Gisèle Szczyglak memaparkan macam-macam pendekatan secara kolektif dan personal yang membuka akses bagi wanita untuk dapat menduduki posisi tertinggi dalam struktur organisasi baik di sektor publik maupun swasta di berbagai macam negara. Dalam pemaparannya, ia menyampaikan bahwa perempuan di posisi pemimpin kerap kali dianggap kurang disukai dibanding laki-laki dan seringkali merasa tidak sepenuhnya diterima dalam struktur sosial yang ada. “Sangat penting untuk menciptakan organisasi dan tempat kerja yang aman yang memudahkan kehidupan pribadi dan profesional perempuan. Penting bagi kita juga untuk merayakan kehidupan dan perjuangan para perempuan yang hadir di sini. Kehidupan perempuan yang terus berjuang di tengah tantangan adalah bukti nyata bahwa kesetaraan belum sepenuhnya tercapai,” katanya.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab interaktif bersama peserta, dan pemutaran film dokumenter berjudul ‘Une Famille’ karya novelis dan sutradara Prancis Christine Angot. Melalui seminar ini, IFI dan UGM berharap dapat memperkuat sinergi antara institusi pendidikan dan masyarakat dalam menciptakan ruang-ruang yang benar-benar aman dan setara bagi semua. Semangat Kartini dijadikan pijakan untuk menumbuhkan keberanian, solidaritas, dan kolaborasi lintas batas dalam mewujudkan lingkungan yang adil gender di Indonesia.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie