
Alumnus Prodi Antropologi UGM, Agung Wilis Yudha Baskoro, baru saja menorehkan prestasi membanggakan di kancah internasional. Ia meraih penghargaan dalam kompetisi bergengsi World Press Photo 2025 mewakili kawasan Asia Tenggara dan Oseania. Karyanya yang berjudul Toxic Clouds Over Weda Bay menyoroti dampak lingkungan dari industri tambang nikel di Halmahera, Indonesia Timur.
Karya Yudha yang mendapat penghargaan ini merupakan hasil liputan investigatifnya di Weda, Halmahera, sebuah wilayah yang mengalami dampak serius dari aktivitas tambang nikel yang berpolusi, bahkan mengakibatkan banjir. Bersama dua rekan jurnalis, ia melakukan perjalanan 10 hari ke lokasi, didukung pembiayaan dari China Global South Project. Yudha secara khusus meliput isu polusi udara dan kehidupan masyarakat adat suku O’hana Magawawa yang terancam kehilangan ruang hidupnya. Baginya, proyek ini bukan sekadar liputan, tapi juga bentuk tanggung jawab moral saya sebagai fotografer dan antropolog. “Saya ingin suara-suara dari pinggiran, seperti masyarakat adat di Halmahera, bisa didengar secara global dan mendapat solusi keadilan lingkungan setelah ini,” ujar Yudha saat diwawancarai, Kamis (24/4).
Bukan kali pertama, Yudha juga pernah meraih honorable mention di SOPA awards 2024 dan mewakili Indonesia dalam proyek Megacities di NGV Triennial 2023 di Australia. Fotografer kelahiran 27 November 1992 ini merupakan lulusan Program Studi Antropologi FIB UGM angkatan 2011. Kecintaannya pada dunia visual telah tumbuh sejak kecil. Berawal dari hobi menggambar dan memotret menggunakan ponsel Nokia 6600 milik ibunya, Yudha mengoleksi berbagai dokumentasi visual sejak masa SMP. “Sejak SMP sampai sekarang, semua arsip foto masih saya simpan,” ungkapnya.
Minat Yudha pada fotografi sosial dan jurnalistik semakin berkembang ketika ia kuliah di UGM. Selama di Antropologi, Yudha banyak belajar dari para senior dan dosen, termasuk Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra dan fotografer antropologis seperti Zamzam Fauzanavi. Ia mengaku terinspirasi oleh pendekatan visual dalam riset-riset antropologi, seperti metode photo voice dan banyak mendapat bekal ilmu melalui mata kuliah etnofotografi. “Saya merasa dunia antropologi dan foto jurnalistik itu saling menyempurnakan. Bukan hanya sekadar data, visual juga bisa memperkuat cerita,” jelasnya.
Masa perkuliahannya ia gunakan untuk mencoba meliput kegiatan prodi dan mengirimkan artikel serta foto ke media-media lokal. Tak disangka, tulisannya berhasil dimuat di media besar, yakni Kompas. “Itu jadi pengalaman pertama saya dimuat di media nasional. Saya dapat honor dan merasa dunia ini menarik untuk digeluti,” kenangnya.
Meski kini telah dikenal sebagai fotografer jurnalistik lepas yang karyanya tampil di berbagai media internasional, perjalanan Yudha tak selalu mulus. Pada awal karier, ia pernah mencoba pekerjaan fotografi komersial seperti foto wisuda, namun akhirnya menyadari bahwa panggilannya ada pada isu-isu kemanusiaan. “Yang menang bukan foto wisuda saya, tapi justru foto ketika mendokumentasikan momen emosional klien foto saya yang mengunjungi neneknya yang sakit setelah wisuda. Dari situ saya sadar, saya ingin fokus pada sisi manusiawi dari fotografi,” katanya.
Ke depan, Yudha berharap bisa terus berkarya untuk membawa cerita-cerita dari pinggiran ke panggung global. Ia juga ingin memperkuat kolaborasi antara antropologi dan visual sebagai medium advokasi sosial. “UGM sangat berperan dalam membentuk cara pandang saya terhadap dunia. Saya bersyukur bisa bertumbuh di lingkungan yang kaya perspektif dan nilai,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok.Yudha Baskoro