
Ketidakpastian ekonomi global yang dipicu kebijakan tarif Trump berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menekan penyaluran kredit perbankan di tanah air. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI April 2025 secara virtual, Rabu (23/4) lalu, mengatakan dinamika kebijakan tarif resiprokal AS bersamaan dengan retaliasi China yang meningkatkan ketidakpastian. Hal ini memicu adanya peningkatan fragmentasi ekonomi global dan penurunan volume perdagangan dunia.
Ekonom FEB UGM Muhammad Edhie Purnawan, M.A., Ph.D ia mengatakan bahwa dampak utama ketidakpastian global terhadap ekonomi Indonesia saat ini dikarenakan oleh geopolitik, proteksionisme, dan volatilitas pasar keuangan melemahkan rupiah, mengancam ekspor, dan menekan daya beli masyarakat Indonesia. Adapun penguatan dolar AS akibat kebijakan The Fed meningkatkan beban utang luar negeri dan harga impor, meskipun BI-Rate 5,75% membantu stabilitas keuangan.
Tantangan yang paling berat justru dihadapi sektor perbankan, dengan aset Rp 12.000 triliun tengah menghadapi disrupsi digital, tekanan likuiditas, dan risiko kredit. Ia juga mengatakan bahwa bank harus terus berinovasi guna memperkuat likuiditas, dan mengelola risiko secara cerdas untuk mendorong inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi menuju visi 2045. “Fintech menggerus pangsa pasar karena konsumen millennial, yang merupakan 54% populasi produktif, menginginkan layanan cepat dan murah. Bank perlu investasi besar pada teknologi seperti open banking dan AI, sambil melindungi diri dari ancaman siber. Tekanan likuiditas muncul akibat aliran modal keluar karena suku bunga global tinggi dan konflik energi, yang melemahkan rupiah dan marjin keuntungan,” paparnya, Selasa (29/4) di Kampus UGM.
Menurut Edhie langkah konkret yang perlu dilakukan BI dan pemerintah ke depan yakni menjaga stabilitas dan mendorong kesejahteraan melalui koordinasi moneter-fiskal, ketahanan pangan, digitalisasi UMKM, dan diplomasi ekonomi. Langkah ini akan memperkuat kedaulatan ekonomi. Sementara BI perlu mempertahankan BI-Rate 5,75% dan operasi pasar terbuka untuk stabilisasi rupiah, serta menjaga rasio nilai kredit dan pembiayaan.
Bagi Edhie, ekonomi dan perbankan menjadi pilar ketangguhan, mendorong kesejahteraan dengan kekuatan lokal dan kerja keras, seperti petani yang inovatif dan ilmuwan yang meningkatkan produktivitas, semuanya bertumpu pada stabilitas ekonomi, perbankan inklusif, dan keberlanjutan. “Pemerintah dan BI perlu menjaga stabilitas ekonomi, menjaga harga tetap terkendali dan pertumbuhan stabil, didukung kebijakan moneter bijak dan anggaran negara yang mendukung UMKM serta energi terjangkau,” katanya.
Ekonom FEB UGM lainnya, Sekar Utami Setiastuti, S.E., M.Sc., Ph.D., menyebutkan sektor yang paling rentan terkena dampak akibat ketidakpastian perdagangan global adalah sektor manufaktur berbasis ekspor, terutama industri tekstil, alas kaki, elektronik, serta sektor komoditas primer seperti kelapa sawit, karet, dan produk perikanan. Pasaknya, perusahaan manufaktur umumnya memiliki ketergantungan pada pasar ekspor utama, seperti Amerika Serikat dan China, membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan kebijakan tarif dan perlambatan permintaan global.
Untuk mengatasi kerentanan ini, strategi diversifikasi pasar ekspor perlu dipercepat, dengan mengembangkan akses ke emerging markets di wilayah Asia Selatan, Afrika, dan Timur Tengah. Selain itu, insentif fiskal, kemudahan pembiayaan ekspor, serta penguatan infrastruktur logistik nasional harus terus diperluas untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional. “Pendampingan teknis dan dukungan promosi ekspor kepada UMKM juga menjadi krusial untuk memperluas basis eksportir baru yang lebih resilien terhadap dinamika global,” tuturnya.
Tidak cukup sampai disitu, imbuhnya, pemerintah dan BI perlu memperkuat sinergi kebijakan untuk menjaga stabilitas makro ekonomi sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi riil di tengah ketidakpastian global yang meningkat. Dari sisi BI, langkah utama adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui kombinasi suku bunga kebijakan yang tetap responsif terhadap tekanan eksternal dan intervensi terukur di pasar valuta asing dan surat berharga seperti SRBI. Adapun dari sisi pemerintah, langkah yang harus ditempuh adalah melakukan realokasi belanja negara ke sektor-sektor yang paling terdampak oleh konflik perdagangan global, seperti manufaktur berbasis ekspor, pertanian, dan infrastruktur logistik. “Kondisi ekonomi dan perbankan Indonesia ke depan bersifat mildly optimistic namun tetap berhati-hati, mengingat tantangan eksternal dan domestik yang looming. Untuk itu, sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, makro dan mikroprudensial perlu diperkuat agar perekonomian dan sektor perbankan Indonesia dapat tetap resilien dan tumbuh berkelanjutan di tengah dinamika global yang kompleks,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik