
Kolaborasi antar mahasiswa pecinta laut kembali mencatatkan jejak penting dalam upaya pelestarian lingkungan bahari. Belum lama ini, Unit Selam Universitas Gadjah Mada dan Universitas Diponegoro melakukan ekspedisi jelajah bawah laut di Pulau Gili dan Noko, Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur pada 28 April – 4 Mei 2025 lalu.
Ketua Delegasi Tim Ekspedisi dari Unit Selam UGM, Bazgheir Syams, mengatakan ekspedisi bawah laut ini bertujuan untuk melakukan pendataan ekosistem laut, kegiatan konservasi, serta penggalian informasi sosial-lingkungan terkait pengelolaan sampah. Tim ekspedisi dibagi menjadi tiga kelompok untuk melakukan pendataan kondisi terumbu karang dan identifikasi populasi ikan menggunakan metode Underwater Photo Transect (UPT) dan Underwater Visual Census (UVC).
Selanjutnya, kegiatan pendataan dilakukan di empat titik perairan Pulau Gili, yaitu sisi utara, selatan, timur, dan barat, dengan masing-masing titik pendataan dilakukan pada dua kedalaman berbeda, yakni lima meter dan sepuluh meter. “Hasilnya, teridentifikasi 760 ekor ikan dengan spesies dominan antara lain Pomacentrus, Abudefduf, dan Chromis,” kata Bazgheir dalam keterangan kepada wartawan, Senin (5/5).
Dalam kegiatan transplantasi terumbu karang dilakukan sebagai bagian dari upaya restorasi ekosistem laut. Bibit karang diambil dari sisi barat daya Pulau Noko menggunakan metode Corals of Opportunity pada kedalaman lima meter dan ditransplantasikan di antara Pulau Gili dan Noko menggunakan metode spider web pada kedalaman yang sama. Ia menyebutkan sebanyak 12 unit spider web ditanam dengan total 151 fragmen bibit karang. Tak berhenti di sana, setelah ekspedisi kembali nanti, proses pemantauan dan perawatan lanjutan terhadap hasil transplantasi ini akan dilanjutkan oleh organisasi konservasi lokal Bawean, yaitu Hijau Daun. “Kolaborasi ini diharapkan memperkuat keterlibatan masyarakat lokal dalam konservasi yang berkelanjutan,” ungkap Bazgheir.
Selain melakukan kegiatan bawah air, ekspedisi ini juga menyentuh aspek sosial dengan melakukan wawancara kepada masyarakat Pulau Gili terkait isu sampah. Dari penuturan masyarakat, ditemukan fakta bahwa permasalahan sampah yang terjadi di sana berasal dari dua sumber utama, yakni kiriman dari pulau lain seperti Bawean dan Kalimantan akibat arus laut, dan juga dari aktivitas warga sendiri yang belum memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) karena keterbatasan lahan. “Mereka menyampaikan bahwa solusi sementara yang telah dilakukan ialah pembakaran dan penguburan sampah. Namun, hal tersebut dinilai belum cukup untuk mengatasi permasalahan yang ada, sedangkan upaya yang dilakukan oleh mahasiswa KKN hanya sebatas menyediakan tempat sampah yang menurut masyarakat tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Menyikapi temuan tersebut, tim ekspedisi Dwipantara VII berencana akan mengadakan seminar hasil kepada pemerintah daerah sebagai bentuk advokasi agar solusi permanen dapat segera diwujudkan. Harapannya, seminar ini dapat menjadi jembatan suara masyarakat kepada pengambil kebijakan. “Kolaborasi ini bukan hanya tentang kegiatan menyelam, tetapi tentang menyatukan semangat konservasi lintas club untuk menjawab persoalan nyata di lapangan,” ungkap Bazgheir.
Lebih lanjut, ekspedisi ini menurut Bazgheir menandai pentingnya menanamkan nilai konservasi sejak dini, sekaligus mempertegas peran mahasiswa dalam upaya pelestarian alam. Selain berdampak langsung terhadap ekosistem Gili-Noko, kegiatan ini juga diharapkan menjadi pemicu lahirnya kerja sama serupa di masa mendatang. “Kita mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk ikut serta menjaga kekayaan lingkungan Nusantara, karena laut dan daratan bukan hanya warisan, tetapi juga masa depan,” pesannya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Unit Selam UGM