
Kepulan asap dupa ritual memenuhi udara malam di Pura Sanatanagama, Pusat Kerohanian UGM, Senin (12/5). Malam itu bertepatan dengan Purnama Jyesta, momen bulan purnama yang sakral pada bulan kesebelas kalender Hindu. Pada malam istimewa itu pula, civitas akademika pemeluk agama Hindu di lingkungan UGM memperingati hari jadi melalui upacara piodalan atau puja wali.
Upacara piodalan dipimpin oleh dua Pinandita, yakni Ida Nabe Shri Bhagawan Istri Lakhsmi Ratu Manik yang hadir khusus dari Bali dan Ida Sri Bhagawan Dalem Acarya Mahakerti Wira Jagat Manik, seorang profesor di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM. Kehadiran keduanya memberikan kekhusyukan tersendiri bagi para bhakta yang memenuhi halaman utama pura.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama RI, Prof. I Nengah Duija, turut hadir dan berbagi wawasan tentang kehinduan di era modern dalam sesi Dharma Tula. Sementara itu, Prof. Ida Bagus Gede Candrawan, Ketua Sekolah Tinggi Agama HIndu Negeri (STAHN) Jawa Dwipa Klaten, turut memberikan dharma wacana sebelum persembahyangan dimulai. “Piodalan bukan hanya perayaan spiritual, tetapi juga ruang refleksi, kontemplasi, dan kolaborasi lintas elemen,” tutur Prof. Duija.
Kolaborasi antara tradisi Bali dan Jawa tampak harmonis dalam berbagai aspek upacara, mulai dari bentuk banten sesaji hingga tarian sakral yang ditampilkan. Selaras dengan hal tersebut, konstruksi bangunan Pura Sanatanagama sendiri juga mengadopsi gaya arsitektur candi Jawa ala Majapahit dengan sentuhan batu andesit, bukan bata merah. Pilihan ini diambil untuk menyelaraskan dengan filosofi Mataram dan semangat kebudayaan Yogyakarta serta sebagai penanda bahwa kampus UGM bukan hanya ruang akademik, tetapi juga ruang spiritual dan kultural.
Tak hanya menjadi momen spiritual yang penuh kekhidmatan, piodalan ini juga turut memperkuat jalinan sosial antarwarga kampus. Dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa Hindu UGM sudah bergotong royong jauh-jauh hari sejak sebelum acara hingga acara selesai. Nilai-nilai Tri Hita Karana menjadi landasan utama dalam piodalan sehingga hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta berusaha dijaga. Hal ini tercermin dari upaya menjaga kebersihan lingkungan, penggunaan bahan alami untuk dekorasi, hingga kegiatan bersih-bersih yang dilakukan para mahasiswa anggota Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma setelah acara selesai.
Menariknya, kegiatan ini juga menjadi ajang mempererat kerja sama lintas agama. Klenteng yang berdekatan dengan pura dipinjamkan untuk merias para penari, sementara halaman Vihara digunakan sebagai tempat menjamu tamu. Semangat kolaboratif ini sesuai dengan pesan Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, “Hadirnya fasilitas kerohanian harus menjadi jembatan sinergi dan persahabatan antarumat, bukan pemicu rivalitas,” tuturnya.
Acara ditutup dengan prasadam, santapan bersama yang dihidangkan kepada lebih dari seratus bhakta yang telah mengikuti persembahyangan. Kebersamaan dan kehangatan menjadi penutup yang mengesankan bagi malam penuh makna itu. “Mungkin kata-kata tidak bisa menggambarkan semua rasa yang hadir malam itu. Namun harapannya, semua yang dilakukan akan membawa kita melangkah ke arah yang lebih baik,” pungkas Prof. Sang Kompiang, ketua pengelola Pura Sanatanagama.
Reportase : I Made Andi Arsana /Sekretaris Pengelola Pura Sanatanagama
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok.Pusat Kerohanian UGM