
Indonesia masih belum mampu mencapai swasembada dalam pemenuhan permintaan daging sapi di dalam negeri, sehingga masih mengandalkan impor dari negara lain. Meskipun pemerintah telah mengupayakan peningkatan populasi sapi, tingkat keberhasilannya bervariasi sehingga menciptakan kesenjangan antarwilayah. Tekanan lingkungan, terutama alih fungsi lahan yang mengurangi ketersediaan pakan alami, menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan populasi sapi dalam negeri.
Demikian dikatakan oleh Dosen Departemen Reproduksi dan Obstetri, Prof. Dr. drh. Asmarani Kusumawati, M.P., dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Selasa (20/5). Asmarani dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Teknologi Reproduksi Veteriner Molekuler FKH UGM usai menyampaikan pidato pengukuhan yang berjudul ‘Teknologi Reproduksi Veteriner Molekuler untuk Penguatan Ketahanan Pangan Indonesia’.
Selain persoalan pakan dan lingkungan, salah satu gangguan yang ditemukan pada sapi di Indonesia adalah kawin berulang. Kawin berulang pada sapi dapat menyebabkan rendahnya efisiensi reproduksi dan produktivitas, yang ditandai dengan panjangnya calving interval, rendahnya angka konsepsi, tingginya service per conception, dan kondisi metabolik yang tidak optimal. “Kami menemukan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap angka kejadian kawin berulang adalah faktor infrastruktur seperti kondisi sanitasi kandang, dan faktor pengetahuan peternak,” ujarnya.
Gangguan reproduksi pasca melahirkan, seperti kenaikan leukosit oleh karena adanya infeksi, merupakan hal yang sering ditemukan dalam praktik peternakan sapi sehari-hari di masyarakat. Penyakit infeksi pada hewan ternak, seperti brucellosis, infectious bovine rhinotracheitis (IBR), toxoplasmosis, foot and mouth diseases (FMD), dan penyakit jembrana, masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Penyakit-penyakit ini tidak hanya mengganggu kesehatan hewan ternak, namun juga fungsi organ reproduksi, misalnya menyebabkan keguguran, infertilitas, atau kelahiran prematur. “Ini berdampak pada kerugian ekonomi yang signifikan akibat penurunan produktivitas ternak. Oleh karena itu, deteksi dini dan akurat menjadi kunci untuk mencegah penyebaran penyakit,” ucap Asmarani.
Bersama grup risetnya, Asmarani mengembangkan metode deteksi molekuler dan imunokimia untuk mengidentifikasi patogen pada hewan ternak. Teknologi nanopartikel muncul sebagai pendekatan sistem penghantaran antigen yang menjanjikan untuk pengembangan vaksin penyakit infeksi pada hewan ternak. Penelitian mereka menunjukkan bahwa formulasi nanopartikel berbahan dasar chitosan, liposom, dan polylactic-co-glycolic acid memiliki kemampuan untuk mengenkapsulasi dan melindungi antigen vaksin, sekaligus meningkatkan uptake seluler.“Harapannya, pengembangan metode ini dapat diadopsi secara luas oleh laboratorium diagnostik, dinas peternakan, dan peternak di Indonesia,” pungkas Asmarani.
Ketua Dewan Guru Besar, Prof. M. Baiquni, menyebutkan bahwa Asmarani adalah salah satu guru besar dari 529 guru besar aktif di Universitas Gadjah Mada. Di tingkat fakultas, ia merupakan salah satu dari 21 guru besar aktif dari keseluruhan 33 guru besar yang pernah dimiliki Fakultas Kedokteran Hewan.
Penulis : Tiefany
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto