
Geopark selama ini kerap dikenal sebagai kawasan wisata berbasis keunikan geologis. Namun, dibalik labelnya yang ramah lingkungan dan menjanjikan pembangunan berkelanjutan, geopark ternyata juga menyimpan persoalan serius terkait nilai lahan dan relasi kuasa yang menyertainya. Hasil riset peneliti UGM dan ageningen University, Belanda, menyebutkan ada kecenderungan kawasan Geopark menjadi ajang perebutan lahan untuk kepentingan industri pariwisata.
Dr. Rucitarahma Ristiawan, S.Par., M.Sc, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, bersama tim peneliti dari Wageningen University, Belanda, melakukan penelitian soal cara kerja industri pariwisata dalam membentuk nilai lahan melalui proses gentrifikasi pedesaan yang tidak jarang menyisakan ketimpangan. “Geopark seolah menjadi kemasan ideal untuk proyek-proyek pembangunan, padahal di dalamnya terjadi perebutan nilai dan ruang,” ujar Rucitarahma, Rabu (21/5).
Dalam studi berjudul ‘Apprehending Land Value Through Tourism in Indonesia’ yang berhasil dipublikasikan secara internasional melalui jurnal Quartil 1 (Q1) Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie pada 2024 silam, Rucitarahma dan tim peneliti membedah bagaimana geopark menjadi ruang baru komodifikasi lanskap pedesaan. Kajian ini tidak hanya melihat dari sisi tata ruang, tetapi juga mengupas praktik politik, ekonomi, dan budaya yang menyertainya. Hasil penelitian yang mereka lakukan menegaskan bahwa perubahan nilai lahan bukan semata-mata akibat mekanisme pasar, melainkan hasil dari dinamika kekuasaan yang dijalankan dalam kerangka tata kelola desentralisasi pascareformasi. “Kami menelusuri bagaimana aktor-aktor lokal dan regional saling bernegosiasi untuk mendapatkan manfaat dari naiknya nilai lahan, dan siapa saja yang justru tersingkir dari proses ini,” katanya.
Penelitian ini mengambil studi kasus di dua geopark, Geopark Gunung Sewu di Yogyakarta dan Geopark Ciletuh Palabuhanratu di Sukabumi, Jawa Barat. Keduanya dipilih karena mencerminkan dua karakter pembangunan yang kontras, satu diprakarsai oleh pemerintah daerah secara top-down, dan lainnya dimotori oleh inisiatif warga yang didukung BUMN melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Meski berbeda dari sisi pelaku, keduanya menunjukkan pola yang serupa, yakni lahan pertanian dan pesisir yang sebelumnya tidak dianggap produktif, kini berubah menjadi vila, homestay, dan resort wisata. Infrastruktur jalan yang dibangun pemerintah daerah mempercepat akses dan sekaligus mempercepat lonjakan harga lahan, bahkan di Gunung Sewu, harga lahan melonjak dari Rp30 ribu menjadi Rp1 juta per meter persegi dalam waktu kurang dari dua dekade. “Geopark membuka pintu investasi, tetapi juga membuka celah ketimpangan antara pemilik modal dan masyarakat kecil,” tutur Rucitarahma.
Namun kenaikan nilai lahan ini tidak terjadi dalam ruang yang netral. Pemerintah daerah dan jejaring elit lokal memainkan peran penting dalam mengatur siapa yang bisa masuk dalam arena pembangunan wisata. Penelitian mencatat bagaimana praktik-praktik klientelistik, seperti perizinan informal dan alokasi proyek ke kerabat, menjadi hal yang lumrah dalam dinamika pembangunan geopark. Di sisi lain, petani dan nelayan kecil yang tak memiliki modal sosial atau ekonomi justru mengalami tekanan secara perlahan untuk menjual lahannya, atau terpaksa menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang tidak mereka pilih. “Yang punya koneksi dengan pejabat bisa tawar-menawar harga tanah, bahkan menentukan lokasi pembangunan resort,” ungkap Rucitarahma
Rucitarahma menjelaskan, studi ini membagi warga terdampak ke dalam tiga kategori, yaitu kelompok yang mampu menjadi negosiator karena memiliki tanah strategis dan jaringan politik, kelompok menengah yang membuka usaha kecil sambil tetap bertani, serta kelompok rentan yang tidak memiliki modal untuk ikut serta dan tidak cukup kuat untuk menolak. Mereka yang berada di kelompok terakhir sering kali harus menghadapi peningkatan biaya operasional, akses lahan yang terganggu, bahkan risiko kecelakaan karena lalu lintas wisatawan. “Kami menemukan bahwa banyak petani terpaksa mengganti rute ke ladang mereka karena jalan utama telah diambil alih oleh properti wisata. Bahkan ada yang mengalami kecelakaan lalu lintas saat membawa hasil panen karena jalanan dipenuhi kendaraan wisatawan,” jelasnya.
Khusus di Gunung Sewu, peran UGM menjadi sangat signifikan, terutama melalui keikutsertaan dosen dan akademisi dari Fakultas Geografi dan Fakultas Ilmu Budaya dalam perencanaan awal geopark. Forum Pengelolaan Karst Gunung Sewu yang turut menggagas geopark ini terdiri dari gabungan pemerintah daerah, akademisi, dan perwakilan masyarakat. Namun seiring perkembangan geopark, arah pembangunan bergeser dari konservasi ke orientasi ekonomi, membuat tantangan sosial-ekologis semakin kompleks. Studi ini juga merekomendasikan agar universitas seperti UGM terus menjaga posisi kritis dan aktif dalam mengawal keadilan sosial dalam pembangunan geopark. “UGM sempat hadir sebagai penyeimbang antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan, namun saat investasi mulai masuk besar-besaran, pendekatan teknokratik perlahan kalah oleh logika pasar,” terang Rucitarahma.
Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya melihat geopark bukan hanya sebagai proyek wisata, tetapi juga sebagai arena perebutan makna dan kepemilikan atas tanah. Nilai lahan tidak hanya dibentuk oleh pasar, tetapi juga oleh narasi, kebijakan, dan relasi kekuasaan yang berlangsung di tingkat lokal maupun nasional. Dalam konteks Indonesia, di mana budaya patrimonial dan relasi klientelistik masih kuat, pembangunan geopark bisa menjadi pedang bermata dua, membuka peluang sekaligus memperlebar ketimpangan. “Kami ingin membuka ruang diskusi kritis bahwa tidak semua pembangunan membawa manfaat merata. Siapa yang diuntungkan, siapa yang terpinggirkan, itu harus jadi pertanyaan utama,” tutupnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Kompas.com