
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman tanaman yang potensial dijadikan bahan baku obat alami maupun obat sintetis. Tercatat lebih 20.000 spesies tumbuhan yang sudah teridentifikasi dan 200 spesies yang sudah dimanfaatkan dengan baik. Minimnya Ahli Botani dan Farmakognosi menyebabkan identifikasi dan pengembangan Bahan Obat Alami belum optimal.
Hal itu mengemuka dalam Kuliah Umum dalam rangka Memperingati Hari Jamu yang bertajuk Tantangan dan Solusi dalam Menjamin Bahan Baku Berkualitas Tinggi untuk Pengembangan Jamu secara daring di YouTube Kanal Pengetahuan Farmasi UGM, Selasa (20/05). Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh fakultas farmasi UGM ini menghadirkan Dosen Fakultas Farmasi UGM Dr. Yosi Bayu Murti, M.Si., dan Prof. Michael Heinrich selaku peneliti Etnofarmakologi dan Farmakognosi dari University College London.
Bayu menyebutkan banyak ragam tumbuhan di Indonesia yang belum diidentifikasi dan eksplorasi lebih lanjut padahal memiliki potensi sebagai bahan baku obat. Meski begitu, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan menurunnya industri manufaktur dari bahan baku tumbuhan, ekstrak, produk sediaan. “Bagaimanapun bahan bakunya dari tumbuhan namun kita memiliki tantangan pada industrinya,” katanya.
Untuk bahan baku jamu, kata Batu, perusahaan jamu juga dihadapkan pada persoalan proses produksi yang bergantung dengan musim. “Kondisi saat ini bahan baku sulit karena mereka tidak masuk pada fase metabolisme yang tinggi karena masih fase hujan. Kemudian yang terakhir, kualitas bahan baku masih rendah,” tuturnya.
Menurutnya, tanaman obat yang bisa digunakan sebagai bahan baku jamu, perlu juga didorong untuk bertransformasi memproduksi obat modern. Kendati untuk ke arah itu, membutuhkan proses yang panjang. Pasalnya diperlukan penyediaan bahan baku berkualitas, dan sertifikasi bahan baku Obat Bahan Alam (OBA) terstandar.
Untuk mendorong pemanfaatan OBA ini, diperlukan perubahan regulasi kebijakan yang memudahkan pengembangan OBA di kalangan dokter dan apoteker dan dapat bekerjasama antar pihak terkait. Selanjutnya peneliti OBa seperti kesepahaman antara penelitian dan industri, pemahaman penerapan standarisasi dari hulu ke hilir, dan terakhir sebaiknya adanya kesepahaman antara peneliti dengan regulasi OBA,” tuturnya.
Bayu melihat adanya pertumbuhan pasar OBA, hingga pertengahan 2024, nilai produksi mencapai Rp 3 triliun, hal ini menunjukkan pertumbuhan yang pesat dalam industri. Pangsa pasar OBA tahun 2023 mencapai 7-10% total pasar obat nasional. Bahkan, nilai ekspor yang pada bulan Januari sampai dengan September 2024, mencapai 639,42 juta dolar AS. “Data ini mencerminkan ekspansi tinggi dalam industri ini,” katanya.
Michael Heinrich dalam pemaparannya menyebutkan beberapa tantangan dalam melakukan transformasi OBA menjadi obat modern yakni proses jalur penemuan obat cukup lama dan panjang. Bahkan waktu dan upaya riset dari awal hingga produk akhir dinilai terlalu lama bahkan memakan biaya yang tidak sedikit. “Ekstrak sebagai bahan aktif menimbulkan tantangan unik dan produktivitas menjadi masalah dibanding bahan senyawa sintetis. Protokol Nagoya dan peraturan terkait sangat ketat. Di sisi lain, terlalu rumit dalam hal disiplin ilmu yang terlibat. ” katanya.
Selain itu, pengembangan OBA juga dihadapkan pada kurangnya ahli ahli botani dan farmakognosi. Ditambah adanya aturan yang menjadikan ekstrak obat bahan alami sulit disetujui sebagai obat. “Dapat disiasati melalui produk suplemen makanan dan obat-obatan alami (jamu),” katanya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson