Menyambut tahun politik 2024, fenomena gangguan informasi di ranah digital membuat warganet menjadi kesulitan membedakan mana informasi yang palsu serta informasi yang dapat dipercaya. Pengonsumsian informasi yang tidak akurat dinilai dapat menjadi sangat berbahaya bagi dinamika politik Indonesia karena dapat menimbulkan situasi panik serta kekacauan, memecah belah masyarakat, meningkatkan diskriminasi, hingga berpengaruh pada pembuatan keputusan dalam aktivitas berpolitik.
Divisi Penelitian dan Pengembangan Korps Mahasiswa Komunikasi UGM mendiskusikan permasalahan gangguan informasi menjelang tahun politik 2024 bertajuk “Youth Activism and Fact-Checking: Menjadi Pahlawan Perlawanan Hoaks dalam Menghadapi Tahun Politik 2024”. Sebagai program kerja bulanan, diskusi yang digelar yang bertepatan dengan Hari Pahlawan ini mengundang pembicara Zainuddin Muda Z. Monggilo, S.I.Kom., M.A, dosen Ilmu Komunikasi UGM dan Arkajendra Ardikanitra, mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM sebagai moderator.
Zainuddin Muda Z. Monggilo mengungkapkan peluang besar dimiliki para generasi muda Indonesia pada pemilihan umum (Pemilu) di tahun 2024. Karenanya para generasi muda yang didominasi oleh para generasi milenial dan generasi Z dituntut sadar politik agar 60 persen dari mereka dapat mengambil andil dan mau berkontribusi pada tata politik Indonesia kedepannya.
“Peluang ini dimungkinkan semakin besar lagi dengan adanya penetrasi dan kontribusi penggunaan internet yang per tahun 2022 ini saja hampir menyentuh angka 100 persen,” ujar Zainuddin Monggilo.
Sayangnya, peluang yang besar ini diikuti dengan munculnya gangguan informasi yang berseliweran di jagad digital Indonesia. Beraneka ragam, bisa berupa misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.
Data Insight Center dalam Survei Literasi Digital Indonesia 2021 mencatat hoaks politik senantiasa mendominasi informasi menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Kondisi ini diperparah dengan adanya polarisasi politik, yaitu momok pascakebenaran (post-truth), efek gelembung (bubble effect/filter bubble), ruang gema (echo-chamber), matinya kepakaran (death of expertise), dan sistem otak yang bekerja lebih emosional (croc brain).
“Bentuk-bentuk tipu muslihat informasi digital tersebut dapat kita lihat melalui iklan-iklan politik dan bisa jadi membawa kita pada kesesatan informasi. Namun, dengan segala ancaman yang ada, saya tetap optimis dan berharap kepada generasi muda untuk selalu menyalurkan suaranya serta mengambil peran dalam melawan hoaks di tahun politik mendatang,” ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Zainuddin, yang juga sebagai pelatih cek fakta tersertifikasi Google News Initiative, pentingnya menyoal terkait literasi dan cek fakta dalam menghadapi tahun politik 2024. Hal itu bisa dilakukan dengan disiplin verifikasi, mencakup menyunting dengan sikap skeptis, memeriksa akurasi data, menghindari asumsi, dan bersikap waspada terhadap anonimitas.
Tidak hanya itu, diperlukan pula tata kelola dan mitigasi konten digital untuk memerangi hoaks dan ujaran kebencian. Dalam hal ini diharapkan optimalisasi peran media sosial dengan lebih cerdas dan bijak dengan melakukan cek fakta terlebih dahulu, dan aktif melawan tipu muslihat di jagat digital.
“Semua itu menjadi aspek penting dalam eksistensi serta partisipasi generasi muda pada pesta politik di tahun mendatang. Semoga melalui self-regulation yang bersifat kolaboratif dan sistemik, kita bisa menciptakan situasi politik yang lebih bersih, jernih, serta kondusif di tahun 2024 dan tahun-tahun berikutnya,” tandas Zainuddin.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : CNN Indonesia