
Pemerintah tengah menghentikan impor komoditas pangan terutama padi dan jagung. Pasalnya, kebutuhan kedua komoditas tersebut, disebutnya bisa dipenuhi di dalam negeri seiring gencarnya berbagai program untuk menuju swasembada padi dan jagung. Oleh karena itu, kolaborasi dalam perlindungan tanaman pangan diharapkan bisa menciptakan ekosistem yang lebih kuat dan adaptif, dan pada akhirnya berkontribusi pada ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani. “Kita akan memperbanyak luasan tanam padi dan jagung, juga menjaga untuk bisa sampai panen. Sehingga luas tanam bertambah, luas panen pun bertambah, disitu lah diperlukan perlindungan tanaman,” ujarnya Direktur Jendral Tanaman Pangan, Kementan RI, Dr. Yudi Sastro, S.P., M.P dalam pertemuan Masyarakat Perlindungan Tanaman dan Hewan Indonesia (MPTHI) di Auditorium Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, pada Jumat, (13/6).
Dirjen mengajak para ahli perlindungan tanaman yang tergabung dalam MPTHI bisa mendukung program pemerintah. Menurutnya, forum semacam ini bisa menjadi jembatan kolaborasi strategis untuk melindungi tanaman, menjamin produktivitas, dan membangun sistem pertanian yang tangguh dan berkelanjutan serta bisa memberikan masukan positif bagi pemerintah.“Kita tidak bisa bicara ketahanan pangan tanpa memperkuat perlindungan tanaman,” tuturnya.
Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (Bapanas) Dr. Sarwo Edhy, menyampaikan bahwa salah satu tugas Bapanas adalah menjamin ketersediaan 13 bahan pokok penting mulai dari beras, jagung, kedelai sampai bawang. Dalam setiap tugasnya diharapkan mampu mengendalikan atau menjaga stabilitas secara bertahap untuk daerah-daerah rawan pangan. “Ada 74 kabupaten/kota yang masuk ke daerah rawan pangan, dan setiap tahun berkurang. Berdasar data BPS sekarang ini ada 68, dan mudah-mudahan tahun ini berkurang lagi diharapkan 64 kabupaten dan kota,” terangnya.
Selain itu, Bapanas juga mendapat mandat untuk mensosialisasikan program stop boros pangan. Sebab berdasrkab data dari BPS dan FAO, Indonesia kehilangan sebanyak 30 persen makanan terbuang. “Pemborosan harus kita kendalikan dan melakukan sosialisasi dari tingkat pusat sampai daerah ke masyarakat-masyarakat. Melatih untuk makan secukupnya dan belanja sewajarnya,” imbuhnya.
Sutarto Alimoeso selaku ketua MPTHI menilai Indonesia tidak bisa bicara ketahanan pangan tanpa memperkuat perlindungan tanaman. Dalam konteks tantangan global seperti perubahan iklim, serangan organisme pengganggu tanaman, hingga degradasi lahan, maka diperlukan sinergi antara ilmuwan, praktisi, regulator, dan pelaku industri. Dalam perannya, kata dia, MPTHI menjamin agar bisa mencapai produksi sesuai harapan secara terus menerus, bermutu dan aman serta pada akhirnya berdaya saing. “Diperlukab upaya perlindungan tanaman itu bukan hanya bicara ada tikus, tidak ada ulat, tidak ada wereng atau tidak”, katanya.
Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Prof. Subejo, menilai pertemuan semacam ini dinilai strategis karena bisa mengkolaborasikan aspek kebijakan dan aspek praktis dari birokrasi dan praktisi. “Forum ini sebagai ajang diskusi membahas praktek-praktek perlindungan tanaman dan hewan selama ini”, imbuhnya.
Seperti diketahui, MPTHI merupakan Organisasi yang bergerak di bidang perlindungan tanaman dan berkontribusi melalui advokasi kepada masyarakat petani maupun pemerintah dalam upaya menekan dampak yang diakibatkan oleh serangan hama dan penyakit tanaman maupun dampak perubahan iklim. Tema pertemuan MPTHI tahun 2025 ini adalah Perlindungan Tanaman Bersinergi Mendukung Tercapainya Swasembada Pangan Berkelanjutan.
Kegiatan Pertemuan MPTHI diawali dengan pembukaan pameran produk pertanian ditandai pemotongan Pita oleh Dirjen Tanaman Pangan didampingi Ketua Umum MPTHI, Sekretaris Utama BAPANAS, Dr. Drs. Sarwo Edhy, SP, MM, MH, dan Prof. Subejo, S.P., M.Sc., Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerjasama Fakultas Pertanian UGM.
Penulis : Agung Nugroho