Sebuah riset dari tim di UGM yang melibatkan 1.250 responden perempuan di Indonesia menemukan bahwa kebanyakan perempuan cenderung mendiamkan misinformasi di grup WhatsApp karena mereka tidak ingin terlibat adu argumentasi dengan anggota lain di grup WhatsApp tersebut.
Riset dalam bentuk survei dan wawancara di Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Banda Aceh, dan Jayapura itu juga menemukan, jenis misinformasi yang paling banyak mereka terima adalah politik (87 persen), diikuti gosip personal (70 persen), isu agama (68 persen), dan isu kesehatan (49 persen).
Hoaks politik tersebut paling banyak diterima di grup WhatsApp teman atau alumni sekolah, yang juga merupakan sumber nomor satu untuk ujaran kebencian yang mereka terima. Meski mayoritas perempuan (74 persen) memilih mendiamkan hoaks tersebut, sebagian kecil responden aktif melawan misinformasi di dalam grupnya.
“Riset berjudul Grup WhatsApp dan Literasi Digital Perempuan Indonesia ini berupaya mengungkap bagaimana perempuan Indonesia menggunakan WhatsApp dan apa motivasi mereka, termasuk cara mereka menghadapi misinformasi dan ujaran kebencian,” kata Novi Kurnia, dosen Departemen Ilmu Komunikasi di Fisipol UGM yang menjadi koordinator penelitian, Jumat (13/3).
Penelitian yang merupakan salah satu pemenang hibah program WhatsApp Misinformation and Social Science Research Awards oleh Facebook/WhatsApp ini dilaksanakan pada masa Pemilihan Umum 2019, yaitu sejak masa kampanye hingga pengumuman pemenang pemilihan presiden.
Novi mengatakan ini merupakan studi berskala besar pertama tentang cara perempuan Indonesia menggunakan WhatsApp, salah satu mobile app terpopuler di Indonesia.
“Seiring bergesernya peran perempuan Indonesia dari semata peran tradisional sebagai istri dan ibu ke peran lebih aktif di kehidupan publik, penggunaan grup WhatsApp mewakili cara perempuan menavigasi peran domestik dan profesional mereka,” ungkapnya.
Studi ini menemukan, secara umum, kompetensi literasi digital para perempuan berada di tingkat moderat untuk berbagai kecakapan, tapi berada di tingkat relatif rendah untuk kecakapan kritis. Meski demikian, ada sejumlah kasus yang menunjukkan situasi di saat para perempuan memainkan peran penting sebagai “agen literasi digital” di dalam grup WhatsApp mereka.
Jika dibekali dengan pengetahuan dan kecakapan yang tepat, imbuhnya, perempuan memiliki peran strategis dalam melawan misinformasi dan ujaran kebencian digital, terutama menjelang Pilkada serentak 2020.
“Itulah mengapa riset ini ditindaklanjuti dengan serangkaian pelatihan literasi digital bagi perempuan. Pelatihan ini akan dilakukan di sejumlah daerah yang dinilai Bawaslu sebagai daerah rawan konflik dan misinformasi,” ucap Novi.
Peluncuran buku hasil riset ini dan rangkaian pelatihan ini akan dilakukan pada Senin 16 April 2020 di Fisipol UGM Yogyakarta dalam bentuk diskusi yang akan menghadirkan kalangan akademis, peneliti, dan aktivis yang bekerja untuk isu media dan perempuan.
Penulis: Gloria