
Perbedaan generasi atau yang disebut dengan fenomena multigenerasi telah menjadi salah satu tantangan dalam pembelajaran. Aktivitas perkuliahan di kampus, fenomena ini melibatkan dua komponen utama yakni dosen dan mahasiswa yang memiliki karakteristik generasi yang berbeda. Dalam konteks pembelajaran, mahasiswa dapat dianalogikan sebagai klien yang perlu dipahami karakternya. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengurangi kesenjangan antar dosen dan mahasiswa agar proses penyampaian informasi dapat lebih efektif dan menyeluruh.
“Mahasiswa saat ini berasal dari generasi yang sangat berbeda dengan kita atau dosen di masa lalu. Di tengah era yang penuh dengan gadget, kita perlu memahami karakteristik mahasiswa sebagai ‘klien’ agar bisa menekan gap generasi,” ujarn Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Muhammad Kamal, S.Si., M.GIS., Ph.D., dalam Workshop Pengembangan Diri bagi Dosen dengan tema “Komunikasi Efektif dan Perkuliahan Bersama Generasi Z” pada Selasa (17/6).
Workshop ini mengundang tiga narasumber yang merupakan dosen dari Fakultas Psikologi UGM. Narasumber pertama adalah Dr. Rizqi Nur’aini A’yuninnisa, S.Psi., M.Sc., narasumber sekaligus dosen di Fakultas Psikologi UGM yang menjelaskan tentang Karakteristik & Pola Pikir Generasi Z. Menurutnya, Generasi Z ini dikenal dengan ciri-cirinya yang unik, seperti aksesibilitas terhadap teknologi sejak dini, gaya belajar visual-interaktif, responsif terhadap umpan balik instan, serta preferensi terhadap pembelajaran berbasis proyek dan kolaboratif.
Nisa mengatakan bahwa perkembangan teknologi ini telah menjadikan gadget sebagai bagian esensial dalam kehidupan sehari-hari bagi Generasi Z. Meski terkadang menjadi distraksi, dalam konteks pembelajaran gadget dapat mendukung proses belajar jika digunakan dengan aturan yang jelas. Ia menyampaikan bahwa dosen dapat merancang “rule of the game” agar mahasiswa tetap fokus dan gadget tidak menjadi pengganggu. Misalnya, menetapkan kapan gadget boleh digunakan dalam kelas dan untuk tujuan apa saja.
Permasalahan lain yang muncul adalah kecenderungan mahasiswa generasi Z untuk mengalami gangguan kesehatan mental. Mereka mudah merasa “burn out” atau mengalami tekanan emosional, bahkan sering melakukan self-diagnosis. “Masalah ini berakar dari aspek sosio-emosional yang belum berkembang optimal di fase pendidikan sebelumnya. Oleh karena itu, kita sebagai dosen perlu lebih proaktif dalam mendampingi mahasiswa. Salah satu prinsip dasar yang ditekankan adalah menjadi pendengar yang aktif dan tidak menghakimi,” tuturnya.
Tantangan berikutnya adalah gaya belajar generasi Z yang menuntut proses pembelajaran yang relevan, otentik, dan interaktif. Mereka lebih menyukai umpan balik cepat, visualisasi, dan metode pembelajaran berbasis proyek. Dengan memahami karakteristik Generasi Z, lanjutnya, para dosen dapat menyeimbanginya dengan menciptakan metode pengajaran yang lebih relevan, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa masa kini, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara optimal.
Lebih lanjut, Aisha Sekar Lazuardini Rachmanie, S.Psi., M.Psi., Psikolog., juga turut membahas tentang bagaimana cara membangun koneksi dan empati terhadap mahasiswa Generasi Z oleh para dosen dengan menerapkan teknik active listening dan pertanyaan reflektif. Dalam sesinya, Aisha mengajak para dosen untuk membagikan cerita dan keluh kesah mereka selama menghadapi para mahasiswa. Ia juga menemukan bahwa terkadang mahasiswa yang tergolong Gen Z ini perlu untuk diingatkan dengan tegas agar lebih reflektif terhadap dirinya.
Untuk itu, Aisah menekankan pentingnya bagi para dosen untuk menyampaikan ekspektasi dan batasan sejak awal. Komunikasi yang tegas namun terbuka menjadi kunci. Misalnya, menjelaskan bahwa dosen hanya merespon pesan di jam kerja dan memiliki aturan dalam penggunaan bahasa komunikasi yang profesional. “Tegas maksudnya disini adalah jelas bahwa disini teman-teman adalah mahasiswa, dan pihak fakultas harus reflektif agar mahasiswa bisa belajar. Jadi mereka juga harus belajar dari proses atau masalah yang mereka diskusikan kepada kita (dosen),” jelasnya.
Pada sesi pemaparan ketiga, Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi., M.A., dosen Fakultas Psikologi UGM juga turut menyampaikan materinya mengenai metode pembelajaran yang menarik bagi Gen Z seperti hybrid learning dan pemanfaatan teknologi. Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran ini tentu sangat diperlukan oleh mahasiswa yang pada era ini lebih banyak tertarik dengan pembelajaran daring, seperti kuis menggunakan Quizizz, Mentimeter, atau yang disebut dengan gamifikasi dalam pembelajaran.
Workshop yang berlangsung selama dua hari pada 17-18 Juni 2025 ini diikuti oleh seluruh dosen Fakultas Geografi UGM untuk bisa lebih memahami karakteristik mahasiswa dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih tepat. Pada hari kedua, hadir pula dosen Fakultas Psikologi UGM Ardian Rahman Afandi, S.Psi., M.Psi., Psikolog yang memberikan paparan di dua sesi sekaligus terkait dengan motivasi dan kepemimpinan untuk Gen Z, serta Syaifa Tania, S.I.P., M.A. yang memaparkan tentang komunikasi efektif dengan Gen Z.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson