
Ketegangan antara Iran dan Israel kini memasuki babak baru. Sebelum serangan Israel pada 13 Juni lalu, benturan langsung pertama terjadi pada April 2024 silam saat Iran meluncurkan serangan besar berupa rudal dan drone. Serangan tersebut menandai eskalasi paling signifikan dalam sejarah hubungan kedua negara, memicu kekhawatiran akan pecahnya konflik berskala lebih luas di kawasan Timur Tengah. Dunia internasional pun mulai menaruh perhatian terhadap arah konflik ini, bahkan tidak sedikit yang menyebutnya sebagai ancaman nyata menuju perang global.
“Situasi ini menjadi sorotan banyak pihak karena keterlibatan aktor-aktor besar dunia bisa mempercepat dinamika menuju ketegangan geopolitik global,” ujar Drs. Muhadi Sugiono, M.A dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada, Senin (23/6).
Menurutnya, ketegangan ini tidak hanya mengancam stabilitas kawasan, tetapi juga berpotensi mengubah konfigurasi kekuatan global. Dinamika politik yang muncul menunjukkan betapa rentannya sistem internasional terhadap konflik berkepanjangan.
Konflik Iran–Israel bukan hanya pertarungan dua negara, melainkan refleksi dari benturan ideologi, sejarah, dan rivalitas kekuasaan yang sudah berlangsung lama. Muhadi berpendapat, serangan Israel terhadap Iran yang belakangan terjadi bukan semata aksi sepihak, tetapi mencerminkan usaha sistematis untuk menghancurkan kemampuan nuklir Iran dengan menyerang fasilitas, ilmuwan, dan pejabat militernya. Laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) 2024 menyebut bahwa Iran memperkaya uranium hingga 60%, melebihi batas ketentuan. Namun sampai saat ini, belum ada bukti yang menyatakan bahwa Iran secara aktif memproduksi senjata nuklir. “Serangan Israel dilakukan dengan dalih Iran melanggar Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), namun ini ironi karena Israel sendiri tidak menandatangani NPT dan tidak tunduk pada rejim nuklir internasional,” jelasnya.
Eskalasi ini telah berubah menjadi konflik terbuka, meskipun belum ada deklarasi perang resmi dari kedua belah pihak. Sikap permusuhan dan saling serang yang terjadi sudah memenuhi kriteria untuk menuju perang terbuka. Muhadi menggarisbawahi bahwa keterlibatan militer secara langsung, bahkan tanpa pengakuan formal, tetap menunjukkan bahwa dinamika konflik telah menembus ambang batas normal diplomasi. Serangan langsung, baik lewat rudal, drone, maupun serangan siber, menjadi bukti bahwa ini bukan sekadar retorika politik. “Ketidakhadiran mekanisme de-eskalasi yang efektif membuat risiko konflik terus membesar,” ujarnya.
Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik ini semakin memperumit keadaan. Setelah sempat menyangkal keterlibatan langsung, AS kini dilaporkan melancarkan serangan ke tiga fasilitas nuklir Iran yang terletak di Isfahan, Natanz, dan Fordo pada Sabtu, (21/6) lalu, sebagai balasan atas serangan drone dan rudal Iran terhadap Israel. Muhadi menyebut bahwa keterlibatan AS, yang tentu saja berada di pihak Israel, jelas akan meningkatkan eskalasi konflik. Peran AS dalam mendukung sistem pertahanan Israel juga semakin mengaburkan batas antara dukungan strategis dan keterlibatan aktif dalam peperangan. “Situasi ini memperbesar risiko terjadinya konflik regional berskala luas yang sulit dikendalikan jika tidak segera diredam melalui forum multilateral,” pesan Muhadi.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa konflik Iran–Israel dapat menjadi pemicu perang global karena kedua negara memiliki hubungan dan dukungan dari negara-negara dalam blok yang saling berseberangan. Muhadi berujar jika konflik tidak segera teratasi, keterlibatan negara lain bisa menjadikannya perang berskala global. Ketegangan ini menciptakan atmosfer politik internasional yang mirip dengan masa Perang Dingin, di mana satu serangan bisa memicu reaksi berantai. “Situasi semacam ini juga mengganggu stabilitas regional lainnya yang selama ini sudah rentan, seperti Suriah, Yaman, dan Lebanon,” ujarnya.
Muhadi juga menyayangkan keberadaan lembaga internasional seperti PBB belum menunjukkan efektivitas yang memadai dalam merespons situasi ini. Dewan Keamanan PBB sering kali tidak mencapai kesepakatan karena posisi negara-negara besar yang saling berseberangan. Meskipun Majelis Umum PBB dapat mengeluarkan resolusi, pelaksanaannya sangat tergantung pada dukungan politik yang tidak selalu tersedia. Lemahnya implementasi keputusan internasional menunjukkan keterbatasan struktur global saat ini dalam mencegah konflik. “Ketika diplomasi multilateral kehilangan daya tawarnya, aktor-aktor negara cenderung mengambil jalur unilateral,” tuturnya.
Lebih lanjut, Muhadi menambahkan negara-negara besar seperti China dan Rusia memiliki preferensi berbeda dari AS dan sekutunya terkait konflik ini. Menurut Muhadi, perbedaan posisi di antara kekuatan-kekuatan dunia itu semakin menyulitkan terciptanya tata dunia yang aman dan damai. Perbedaan kepentingan ini juga mencerminkan kegagalan sistem internasional dalam menciptakan konsensus keamanan bersama. Alih-alih menjadi penengah, negara-negara besar justru memperkuat blok masing-masing yang rentan memicu konflik lanjutan. “Padahal, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas global,” ungkapnya.
Konflik ini, kata Muhadi, turut berdampak terhadap Indonesia, baik secara ekonomi maupun politik luar negeri. Muhadi menegaskan bahwa sebagai negara dengan ekonomi terbuka, Indonesia akan terdampak apabila rantai pasokan energi terganggu akibat perang. Lonjakan harga minyak dan gangguan logistik global bisa merembet ke inflasi domestik. Sementara di sisi diplomasi, Indonesia dihadapkan pada dilema antara menjaga hubungan bilateral dan konsistensi prinsip luar negeri bebas aktif. “Selain itu, posisi politik luar negeri Indonesia di Timur Tengah, terutama terkait isu Palestina, akan semakin rumit,” tambahnya.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia perlu mengambil sikap yang jelas dan tegas. Muhadi juga menekankan pentingnya konsistensi Indonesia dalam mendukung perlucutan senjata nuklir dengan mendorong semua negara Timur Tengah untuk menjadi anggota NPT dan tunduk pada aturan rejim nuklir internasional. Langkah ini sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap keamanan global dan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selain itu, Indonesia juga dapat memperkuat perannya melalui jalur kemanusiaan, seperti inisiatif bantuan kemanusiaan atau mediasi dalam forum internasional non-blok. “Indonesia harus mengutuk serangan Israel dan mendorong penyelesaian diplomatik,” ujar Muhadi.
Di tingkat domestik, respons publik Indonesia terhadap konflik ini mulai terlihat, terutama di media sosial dan ruang-ruang diskusi publik. Muhadi beranggapan sentimen pro-Palestina tetap dominan di masyarakat tetapi belum berkembang menjadi sikap politik yang terstruktur. Menurutnya, pemerintah perlu mencermati opini publik agar bisa merespons dengan kebijakan luar negeri yang sejalan dengan aspirasi rakyat. “Apakah respons tersebut akan menciptakan dinamika sosial dan politik yang signifikan, saat ini belum bisa dipastikan,” kata Muhadi.
Di tengah kompleksitas global ini, Muhadi menilai langkah konkret Indonesia adalah memperkuat jalur diplomatik dan humaniter. Selain mendorong semua pihak kembali ke meja perundingan, Indonesia juga dapat mengambil inisiatif untuk membangun koalisi negara-negara yang mendorong de-eskalasi. Indonesia bisa memainkan peran penting untuk memastikan kawasan tetap netral dan tidak terseret dalam polarisasi geopolitik global. “Indonesia perlu menjadi suara moderat yang aktif mendorong perdamaian, sekaligus memperjuangkan perlucutan senjata nuklir yang adil dan konsisten,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto. : CNN World