
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) RI, Prof. Dr. Anggito Abimanyu menekankan pentingnya laporan keberlanjutan dalam mendukung transformasi menuju ekonomi berkelanjutan. Menurutnya, konsep keberlanjutan kini tidak lagi terbatas pada isu lingkungan, tetapi juga mencakup keadilan sosial dan tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab penting dalam menyediakan regulasi yang kuat dan mekanisme pelaporan yang jelas agar pelaku usaha memiliki arah dan kepastian dalam menjalankan praktik bisnis yang bertanggung jawab.
Hal itu disampaikan oleh Anggoto dalam membuka. konferensi internasional 4th Biennial Emerging Scholars Colloquium and Conference on Accounting and Accountability in Emerging Economies (AAEE) yang berlangsung Kamis, (26/6) di Sanur Prama Sanur Beach Hotel, Bali.
Anggito menilai peran oranisasi internasional saat ini semakin melemah di tengah dinamika global yang kian kompleks. Ditambah meningkatnya kebijakan proteksionis yang dilakukan masing-masing negara semakin memicu ketegangan antarnegara. Dampak dari meningkatnya dinamika global terhadap aktivitas ekonomi, menurutnya, dapat dilihat dari penurunan pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,8 persen pada 2025, dari sebelumnya 3,2 persen di 2024. “Kondisi ini tentunya memperkuat urgensi untuk mencari strategi pembangunan yang tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bersifat berkelanjutan dan resilien terhadap goncangan dari luar,” ucapnya.
Dia menyampaikan laporan keberlanjutan memiliki peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih transparan dan inklusif. Melalui laporan ini, perusahaan dapat menunjukkan komitmen terhadap praktik hijau dan tanggung jawab sosial, sekaligus membangun kredibilitas usaha di mata publik. Selain itu, laporan yang transparan juga dapat menarik minat investor, terutama investor yang berfokus pada praktik bisnis dengan prinsip Environmental, Social and Governance (ESG). Hal ini didukung dengan proyeksi aset ESG global yang mencapai $53 triliun pada 2025.
Di Indonesia, lanjutnya, sejumlah regulasi telah diterbitkan untuk mendorong praktik laporan keberlanjutan, seperti POJK No. 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik; Surat Edaran OJK No.16/SEOJK.04/2021 tentang Bentuk dan Isi Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik, serta Undang-Undang No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Sayang, implementasi di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya, belum adanya standar pelaporan yang seragam menyebabkan perusahaan menggunakan kerangka kerja yang berbeda-beda, seperti GRI (Global Reporting Initiative), SDGs (Sustainable Development Goals 2030), SASB (Sustainability Accounting Standards Board), atau bahkan kombinasi dari beberapa standar.
Tantangan lain yang harus dihadapi adalah belum terdapat kewajiban untuk melakukan assurance atau penjaminan atas laporan keberlanjutan. Padahal, dengan adanya penjaminan dapat meningkatkan keandalan, akuntabilitas, dan kredibilitas laporan tersebut. Saat ini, standar penjaminan yang paling banyak diadopsi adalah AA1000AS (Accountability 1000 Assurance Standard), yang menilai transparansi dan performa keberlanjutan organisasi secara menyeluruh.
Tak luput dari pandangan Anggito yaitu soal pentingnya kontribusi institusi pendidikan tinggi dalam menciptakan ekosistem pelaporan keberlanjutan yang matang. Salah satunya keberadaan The Institute of Certified Sustainability Practitioners (ICSP) yang menyediakan pendidikan sertifikasi profesional seperti CSRS (Certified Sustainability Reporting Specialist) dan CSRA (Certified Sustainability Reporting Assurer). Melalui pendidikan dan sertifikasi tersebut, diharapkan lahir tenaga profesional yang kompeten dan akuntabel dalam mendorong kualitas pelaporan keberlanjutan di Indonesia.
Anggito mengingatkan pentingnya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, profesional, dan institusi pendidikan tinggi dalam membangun ekosistem pelaporan keberlanjutan yang kuat. Ekosistem ini, disebutnya, akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga resilien terhadap dinamika politik dan ekonomi global. “Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) untuk menciptakan dunia yang sejahtera, inklusif, dan berwawasan lingkungan”, imbuhnya.
Reportase : Kurnia Ekaptiningrum/ Humas FEB UGM
Penulis : Agung Nugroho