
Pertumbuhan sektor ketenagalistrikan erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga ketersediaan energi listrik berperan penting bagi penggerak ekonomi. Hal ini mendorong peningkatan kebutuhan energi nasional, terutama di sektor ketenagalistrikan. Akan tetapi, ketergantungan yang tinggi terhadap fosil tidak hanya memperbesar resiko krisis energi akibat keterbatasan sumber daya energi, tetapi juga berkontribusi terhadap jumlah emisi gas rumah kaca. Dalam rangka mempercepat transisi energi di sektor ketenagalistrikan, pemerintah menggagas berbagai kebijakan strategis, salah satunya adalah pensiun dini PLTU batubara (early retirement/ER) sebelum mencapai masa pakai yang direncanakan.
Dosen Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, SH, LL.M. mengatakan komposisi bauran energi yang menopang pertumbuhan konsumsi listrik masih ditopang oleh energi fosil, namun realisasi EBT dalam bauran energi primer baru mencapai 13,1% pada tahun 2023, jauh dari target 23% pada tahun 2025. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas EBT belum mampu menyaingi kontribusi energi fosil secara signifikan.
Mailinda juga mengatakan pengaturan inti terkait implementasi ER diatur dalam Pasal 3 Perpres 112/2022, yang meliputi pertama, implementasi ER didahului dengan penyusunan Roadmap percepatan ER oleh Menteri ESDM. Kedua, ER dapat dilakukan terhadap PLTU milik PLN maupun PLTU yang dikembangkan PLN dan IPP milik swasta. Ketiga, bahwa untuk mendukung implementasi ER, pemerintah mengatur kebijakan lain yang bertujuan membatasi PLTU dan mendukung PLT EBT.
Mailinda juga menyoroti pentingnya benchmarking dalam pengembangan kebijakan transisi energi, baik di negara maju yang telah mengimplementasikan maupun negara berkembang. “Negara-negara maju yang mendorong ER ini memberi pelajaran kepada Indonesia untuk dapat memastikan kerangka regulasi yang kuat dan komitmen terhadap dekarbonisasi jangka panjang,” ujarnya dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar, Selasa (8/7), di ruang Balai Senat UGM.
Sementara itu, benchmarking terhadap negara berkembang menunjukkan upaya transisi energi yang didorong oleh kombinasi dukungan internasional dan kebijakan nasional. Hal ini memberi pelajaran bagi Indonesia untuk menggaet dukungan internasional, perencanaan yang matang, dan pendekatan inklusif untuk memastikan keadilan sosial pada proses transisi energi.
Dengan memahami praktik internasional tersebut, Mailinda menyoroti bagaimana Indonesia dapat merumuskan pendekatan implementasi ER dengan melihat peluang dan tantangan yang ada di dalam negeri. Adapun peluang yang meliputi penghematan biaya operasional PLTU yang sudah tua, membuka akses kesempatan memperoleh pendanaan internasional, mempercepat integrasi EBT dalam bauran energi nasional, menunjukkan political will yang kuat dalam komitmen mitigasi iklim global, dan transformasi ekonomi hijau. “Bauran energi nasional masih didominasi oleh batubara dan minyak, juga perlu dukungan panduan perencanaan dan kebijakan yang memadai,’ pungkasnya.
Penulis : Ika Agustin
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie