
Usaha budidaya perikanan di kalangan petani perlu didorong dengan pengembangan vaksin sebagai langkah strategis dalam menjaga kesehatan produksi ikan budidaya di Indonesia. Meski pengembangan vaksin telah dimulai sejak dekade 1990-an dan terus berkembang melalui kolaborasi dengan lembaga riset maupun industri, namun pemanfaatannya belum maksimal di lapangan yang disebabkan oleh rendahnya permintaan dan minimnya insentif bagi produsen. “Permintaan vaksin di Indonesia masih rendah, padahal vaksin berbasis riset telah tersedia, baik yang dikembangkan UGM maupun institusi lain. Tantangan utamanya adalah distribusi, regulasi, dan belum adanya dukungan kebijakan yang konsisten,” ujar Ketua Departemen Perikanan UGM, Prof. Alim Isnansetyo dalam workshop bertajuk Fish Vaccine Strategies for Sustainable Aquaculture, Senin (14/7), di Fakultas Pertanian UGM.
Menurut Alim, salah satu tantangan implementasi vaksin di Indonesia juga berkaitan dengan aspek teknis dan geografis. Belum lagi, morfologi ikan lokal seperti lele dan nila yang berbeda dengan salmon, sehingga memerlukan modifikasi alat vaksinasi dan metode penerapan. Ia juga menyebut distribusi vaksin ke daerah terpencil sebagai hambatan utama yang masih harus diatasi. Untuk itu, ia mendorong keberlanjutan riset yang relevan dengan kebutuhan domestik serta adanya kebijakan pemerintah yang berpihak pada percepatan industrialisasi vaksin ikan. “Mesin vaksin otomatis yang cocok untuk salmon di negara maju belum tentu cocok untuk spesies seperti lele atau nila yang umum di Indonesia. Adaptasi teknologi lokal mutlak diperlukan,” tegasnya.
Sementara Prof. Dini Siswani Mulia dari Universitas Muhammadiyah Purworejo menjelaskan urgensi vaksinasi dalam menekan angka kematian ikan akibat infeksi bakteri. Ia menyoroti bakteri Aeromonas spp. sebagai salah satu patogen utama yang mengganggu keberhasilan budidaya, terutama pada ikan air tawar seperti lele. Dini juga memaparkan pentingnya pengembangan vaksin berbasis isolat lokal untuk efektivitas yang lebih tinggi. “Vaksin terbukti mampu menurunkan tingkat kematian hingga 70–90 persen dan mengurangi penggunaan antibiotik hingga 60 persen. Ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan budidaya dan mencegah resistensi antimikroba,” jelasnya.
Pada sesi selanjutnya, Prof. Dr. Ina Salwany dari Universiti Putra Malaysia berbagi pengalaman riset vaksinasi ikan laut di Malaysia. Selama ini, Ina aktif melakukan penelitian terkait vaksinasi ikan komersial dan pengembangan metode aplikasi vaksin yang sesuai dengan kondisi tropis. Ia menyampaikan pentingnya pelibatan pelajar dan industri dalam upaya penguatan vaksinasi perikanan lintas kawasan. “Workshop ini sangat bermanfaat. Kami dapat berbagi pengalaman mengenai tantangan vaksinasi ikan laut, termasuk dari sisi riset, penerapan, dan kolaborasi lintas institusi. Harapannya kegiatan ini bisa terus berlanjut dan mendorong lebih banyak sinergi antara Indonesia, Malaysia, dan Inggris,” ujarnya.
Dr. Tharangani Herath dari Harper Adams University, Inggris, turut memberikan pandangan tentang pentingnya penguatan teknologi vaksinasi yang berbasis ilmiah. Tharangani membawakan topik mengenai adjuvant vaksin, yaitu bahan tambahan yang digunakan untuk meningkatkan daya lindung vaksin terhadap infeksi. Selama ini, ia konsisten meneliti imunologi ikan dan formulasi vaksin yang efisien untuk perikanan tropis dan subtropis. “Saya senang melihat keterlibatan aktif pelajar Indonesia. Topik yang saya bawakan hari ini adalah adjuvant vaksinasi, yaitu bahan yang ditambahkan ke dalam vaksin untuk meningkatkan efektivitasnya. Ini menjadi fondasi penting dalam pengembangan vaksin yang aman dan berdaya lindung tinggi,” ucapnya.
Workshop pada pagi ini mengawali rangkaian The 6th International Symposium on Marine and Fisheries Research (ISMFR) & Seminar Nasional Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan ke-22 yang akan berlangsung pada 15–16 Juli 2025 dan akan menampilkan hasil-hasil penelitian terbaru di bidang perikanan dan kelautan dari berbagai institusi nasional dan internasional. Tahun ini, ISMFR dan Semnaskan secara khusus mengusung tema besar mengenai keterkaitan antara Blue Economy, Blue Finance, dan Blue Justice dalam mendorong produksi hasil laut yang berkelanjutan. Kegiatan ini akan menghadirkan lebih dari 200 peserta dari berbagai negara seperti Malaysia, Korea Selatan, Inggris, dan Australia, serta para pembicara utama dari universitas dan lembaga riset terkemuka dunia. Kegiatan ini tidak hanya menjadi forum ilmiah, tetapi juga simbol komitmen bersama untuk membangun sistem akuakultur yang lebih sehat, adil, dan berbasis pengetahuan. Dengan kolaborasi yang kuat dan dukungan lintas sektor, transformasi sistem vaksinasi perikanan di kawasan Asia Tenggara bukanlah hal yang mustahil.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie