
Industri peternakan tidak hanya berorientasi pada profit, dalam menjalankan bisnisnya iapun memiliki tanggung jawab dalam pengolahan dan pemanfaatan limbah sebagai wujud keberpihakan pada masyarakat dan lingkungan. Sebagai wujud keberpihakan pada masyarakat dan lingkungan tersebut, sejumlah peneliti dari UGM telah melakukan penelitian dan berhasil mengembangkan i limbah cair hasil produksi biogas (anaerobic digested manure wastewater atau bio-slurry) dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai media kultivasi mikroalga Euglena sp. IDN 22 yang berpotensi menjadi raw material dalam berbagai sektor industri.
Tim penelitian ini diketuai oleh Prof. Ir. Ambar Pertiwiningrum, M.Si., Ph.D., IPU., ASEAN Eng., beranggotakan Prof. Ir. Nanung Agus Fitriyanto, S.Pt., M.Sc., Ph.D., IPM yang juga Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Dhomas Indiwara Prana Jhouhanggir, S.Pt, mahasiswa Program Doktor Fapet dan Dr. Eko Agus Suyono, S.Si., M.App.Sc, Dosen dan Peneliti, Fakultas Biologi UGM.
Ambar Pertiwiningrum merasa bersyukur karena penelitian yang dilakukan tim telah dimuat di Journal of Ecological Engineering, 2025. Dari kajian yang telah dilakukan, ia menyampaikan integrasi pemanfaatan bio-slurry dan kultivasi mikroalga menawarkan dua keuntungan sekaligus, yaitu ekonomi dan lingkungan. Dari sisi ekonomi, bio-slurry mengandung nutrien penting seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang dibutuhkan mikroalga. “Hal ini tentu memungkinkan petani untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kebutuhan penggunaan pupuk sintetis, sehingga menurunkan biaya operasional dalam budi daya mikroalga”, katanya, Rabu (16/7).
Lebih lanjut, Ambar mengatakan dari sisi lingkungan, pemanfaatan bio-slurry dapat mengurangi beban cemaran limbah peternakan. Limbah cair produksi biogas tersebut mengandung nutrient seperti nitrogen dan fosfat, yang dapat menyebabkan eutrofikasi jika dibuang ke badan air secara langsung tanpa pengolahan. Dengan mengolah menjadi media kultivasi mikroalga, disebutnya residu limbah berkurang secara signifikan, mengurangi emisi gas rumah kaca seperti metana (CH₄) dan nitrous oxide (N₂O), serta mendukung prinsip ekonomi sirkular dan keberlanjutan lingkungan.
Menurutnya, pengelolaan limbah dengan menggunakan pendekatan cara ini dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak memerlukan penambahan bahan kimia sintetis selama proses pengolahan. Bio-slurry digunakan dalam bentuk alaminya sebagai media untuk kultivasi mikroalga. “Pendekatan ini menghindari potensi pencemaran sekunder yang biasanya ditimbulkan oleh limbah bahan kimia pengolahan, serta menjaga integritas ekosistem sekitar”, ucapnya.
Dengan memanfaatkan penggunaan mikroalga dalam sistem ini, dalam pengamatannya, juga berkontribusi pada penyerapan karbon dioksida (CO₂) dan penyisihan nutrien berlebih, seperti nitrogen dan fosfat, yang dapat menyebabkan eutrofikasi jika dibuang ke badan air. Meski begitu, dia mengakui, produksi biomassa mikroalga saat ini belum umum dilakukan oleh petani atau kelompok tani secara luas di Indonesia. Beberapa inisiatif memang telah dimulai, terutama di kalangan akademisi, startup bioteknologi, dan proyek berbasis pemberdayaan masyarakat, namun skalanya masih terbatas.
Kendala utama, menurutnya karena kurangnya informasi yang diperoleh kelompok tani terkait teknis dan potensi kultivasi mikroalga, ditambah akses pasar penjualan yang masih terbatas. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari penelitian, tim sedang melaksanakan riset lanjutan. “Riset untuk menentukan komposisi bio-slurry yang paling optimal berdasarkan kandungan nutriennya, terutama rasio karbon terhadap nitrogen yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan produktivitas mikroalga,” imbuhnya.
Reportase : Satria/Humas Fakultas Peternakan
Penulis : Agung Nugroho