Guru Besar Ilmu Hukum UGM, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, mengatakan ada disparitas yang cukup besar antara perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat yang pesat terutama karena temuan sains dan teknologi. “Keterlambatan hukum dalam merespons kebutuhan masyarakat termasuk penanganan kejahatan kemanusiaan dan korupsi dengan modus yang selalu bertambah canggih bisa berdampak luas dan menyusahkan para penegak hukum,” kata Sulistyowati dalam orasi ilmiah yang bertajuk Pendidikan Hukum untuk Indonesia Masa Depan: Sebuah Catatan Kritis pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-74 Fakultas Hukum (FH) UGM, Senin (17/2), di ruang Auditorium FH UGM .
Melihat situasi sekarang ini, menurutnya, kurikulum pendidikan hukum harus merefleksikan respons dan sensitifitas terhadap kebutuhan rasa keadilan di masyarakat. Selain itu, kurikulum pendidikan hukum harus mampu melahirkan para pemikir dan praktisi hukum yang sensitif untuk membela kepentingan masyarakat luas, kreatif, dan mampu melakukan terobosan dan perubahan hukum. “Selalu ada kendala politik dan birokrasi dalam proses perumusan hukum sehingga produk legislasi selalu lambat datangnya,” katanya.
Universitas yang memiliki pendidikan hukum, katanya, harus mampu bekerja sama dengan berbagai pihak. Di negara maju, universitas membangun kerja sama dengan erat tidak hanya dengan industri tetapi juga dengan lembaga pemerintah, parlemen, lembaga peradilan dan masyarakat sipil. “Jejaring ini menyebabkan derap universitas bersinergi dengan tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah,” ujarnya.
Sulistyowati berkeyakinan tujuan esensi belajar di universitas bukan hanya melahirkan sarjana yang berketerampilan tetapi juga berpengetahuan dan berintegritas. Baginya, menjadikan para mahasiswa berketerampilan digital, mengerti big data di era artificial intelligence memang penting tetapi tidaklah cukup. “Mereka harus menjadi pemikir dan menghasilkan riset sosial humaniora yang bersifat frontier, mampu meramalkan masyarakat dan kebudayaan di era teknologi dengan berbagai masalahnya,” katanya.
Ia mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo dalam beberapa kali pidatonya mempertanyakan mengapa universitas di tanah air sukar berubah bahkan nomenklatur bidang studi tidak pernah berubah. Padahal, pemenang persaingan masa kini adalah mereka yang tercepat dalam hal inovasi. “Disrupsi tidak hanya akan menerjang perusahaan raksasa saja tetapi juga universitas yang tidak mau berubah dan lambat merespons kebutuhan masyarakat dan industri,” katanya.
Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Sigit Riyanto, mengatakan Fakultas Hukum UGM yang genap berusia 74 tahun merupakan fakultas hukum pertama yang didirikan oleh pemerintah. Dalam perjalanannya, FH UGM telah memberikan kontribusi penting dalam perkembangan bangsa dan negara khususnya pada perkembangan ilmu hukum di Indonesia. “Banyak pendapat dan pemikiran yang lahir, tumbuh dari UGM yang kemudian memperkuat dan memperbaiki sistem hukum Indonesia,” katanya.
Dalam upaya pengembangan bidang pendidikan, kata Sigit, FH UGM telah berupaya melakukan penyesuaian, pengembangan dan pembaharuan kurikulum, rencana perkuliahan dan bahan ajar yang berbasis capaian atau outcome based education (OBE). “Kita telah menyusun 8 capaian pembelajaran lulusan agar memiliki sikap dan kepribadian yang baik, penguasaan pengetahuan, memiliki keterampilan khusus dan keterampilan umum,” katanya.
Selain melakukan pembaharuan kurikulum, FH UGM telah melakukan berbagai inovasi di bidang pengembangan metode pembelajaran serta penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan pembelajaran. “FH UGM memanfaatkan berbagai teknologi pembelajaran, seperti teleconference, pengembangan situs dan kanal pengetahuan di media sosial untuk mendorong pendidikan hukum yang lebih inklusif ke masyarakat,” katanya.
Penulis: Gusti Grehenson