
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) baru-baru ini merespon usulan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilaksanakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dipilih oleh pemerintah pusat. Inisiasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengevaluasi total proses pelaksanaan Pilkada. Namun usulan tersebut masih menuai kontroversi di kalangan partai politik, pakar, dan masyarakat.
Alfath Bagus Panuntun, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada menanggapi isu ini dari perspektif akademik dan praktis. Menurutnya, sistem pilkada melalui DPRD bukanlah hal baru. Sebelum tahun 2005, sistem tersebut diterapkan dan dinilai masih sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Seiring perjalanan waktu, pasca reformasi dan amandemen UUD 1945, sistem tersebut diubah menjadi pemilihan langsung untuk memperluas partisipasi rakyat.
Bagi Alfath, hal yang perlu diperhatikan dalam isu ini bukan sekedar sesuai dengan konstitusi saja, melainkan apakah sistem tersebut dapat mendorong keterlibatan masyarakat atau justru melemahkannya.“Ini soal pilihan politik, apakah kita mau demokrasi kita lebih partisipatif atau terbatas diserahkan pada elite,” ujar Alfath, Selasa (12/8).
Dari sisi pembiayaan, Alfath menilai sistem pilkada melalui DPRD memang lebih efisien dan mudah secara prosedur. Tapi demokrasi bukanlah suatu nilai yang hanya bergerak dalam pelaksanaan prosedural. “Demokrasi memiliki pemaknaan yang dalam akan peran individu dalam suatu sistem kenegaraan,” imbuhnya.
Alfath menegaskan bahwa demokrasi memang “mahal” karena terus menerus berupaya mendorong partisipasi politik. Tapi tentu hal tersebut sudah menjadi konsekuensi sebagai negara yang menganut asas demokrasi. Namun perlu dicermati, semakin tinggi keterlibatan publik, maka demokrasi yang dibangun akan semakin kuat sehingga negara menjadi lebih inklusif dan mampu memenuhi hak-hak rakyatnya secara berkeadilan. “Harga “mahal” tersebut sangat pantas untuk memastikan proses politik yang lebih partisipatif,” ujarnya.
Jika melihat evaluasi pelaksanaan Pilkada yang sebelumnya banyak praktik politik uang dan politik dinasti, setidaknya terdapat tiga persoalan yang muncul, yakni tingginya ongkos politik, korupsi, dan politisasi birokrasi. Menurut Alfath, solusinya bukanlah memotong hak masyarakat untuk memilih, melainkan membenahi desain dan pengawasan Pilkada. “Pemerintah perlu memahami bahwa persoalan dana pemilihan bukan berarti hambatan untuk mendorong partisipasi politik masyarakat. Harus ada evaluasi menyeluruh mengenai biaya mana yang perlu dan tidak perlu dikeluarkan demi pemilihan yang adil,” jelasnya.
Selain itu, aspek pengawasan perlu ditekankan sejak awal pencalonan, tidak hanya ketika Pilkada dan pasca pelaksanaan. Secara aturan, Pilkada maupun Pemilu sebetulnya sudah memiliki berbagai aturan mengikat yang sesuai. Sayangnya, implementasi aturan tersebut justru masih membutuhkan banyak evaluasi. Alfath juga berpesan agar pengkhususan atau priviledge pejabat dapat dikurangi agar individu yang terpilih menjadi kepala daerah adalah seseorang yang memang sesuai dengan bidang tersebut. “Demokrasi akan bergeser ke arah lebih elitis. Publik makin jauh dari proses pengambilan keputusan,” ucap Alfath.
Di sisi lain, pengarusutamaan agenda reformasi politik dan pemilu secara umum harus dibersamai dengan perbaikan institusi penyelenggara, pengawas Pemilu, serta politisi yang ikut berkontestasi. “Jika ingin memperkuat demokrasi, ruang partisipasi politik rakyat perlu diperluas dan ditingkatkan. Bukan justru dikurangi dan dibatasi,” pungkasnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kompas.com