
Fenomena pengibaran bendera Jolly Roger ala One Piece yang ramai di media sosial belakangan ini menjadi perhatian serius bagi Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada. Tren ini tidak hanya memicu diskusi di kalangan penggemar anime, tetapi bahkan menarik perhatian pemerhati media dan kebijakan publik. Percakapan yang berlangsung masif di berbagai platform memperlihatkan bagaimana isu visual sederhana dapat berkembang menjadi topik nasional. Menurut Ayom Mratita Purbandani, pengamatan timnya menemukan lonjakan percakapan yang masif di berbagai platform digital. “Sejauh ini, kami mencatat setidaknya ada 2,6 juta impresi terkait isu pengibaran bendera One Piece,” ujarnya, Rabu (13/8).
Besarnya perhatian publik tersebut bukan hanya soal estetika visual, melainkan karena munculnya polarisasi makna. Di dunia maya, perbedaan perspektif terlihat jelas antara media massa arus utama dan percakapan warga di media sosial. Hal ini mengindikasikan adanya jurang persepsi yang terbentuk akibat perbedaan framing dan sumber informasi. Di media massa, sentimen yang muncul cenderung negatif atau netral dengan sorotan pada isu makar dan anti-nasionalisme. Sementara di media sosial, banyak warganet yang justru memandangnya sebagai wujud kreativitas dalam menyampaikan pesan. “Kami melihat penggunaan idiom budaya populer seperti ini sebagai hal yang jamak untuk mengartikulasikan protes,” kata Ayom.
Ayom menilai, fenomena Jolly Roger di Indonesia sejajar dengan penggunaan simbol global lain yang pernah menjadi ikon protes, seperti semangka untuk Palestina atau salam tiga jari di Thailand. Kesamaan pola ini menunjukkan bahwa budaya populer memiliki kekuatan lintas batas geografis dalam membangun solidaritas simbolik. Simbol-simbol tersebut mudah diadopsi karena membawa narasi yang sudah dikenal luas oleh publik, sehingga meminimalisasi hambatan pemahaman. Keberadaan simbol dari karya populer memudahkan pesan sampai ke publik karena familiar dan memiliki resonansi emosional. “Bendera One Piece menjadi saluran pesan yang sederhana namun kuat, karena mudah dikenali dan dekat dengan ingatan kolektif masyarakat,” tuturnya.
Menariknya, pelarangan oleh sebagian pihak justru membuat isu ini semakin ramai dibicarakan di dunia maya. Efek ‘Streisand’ ini kerap terjadi di era media digital, di mana upaya membatasi justru memicu peningkatan atensi dan distribusi pesan. Publik pun cenderung bereaksi dengan solidaritas terhadap simbol yang dianggap sedang ditekan atau dilarang. Menurut Ayom, dinamika tersebut menunjukkan bahwa simbol ini tidak sekadar memicu sensasi, tetapi juga menguatkan pesan yang ingin disampaikan. “Ketika pelarangan terjadi, pesan simbolik justru menjadi semakin tepat sasaran,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa media populer memiliki kekuatan ideologis tersendiri karena menyampaikan kritik secara non-konvensional dan lebih halus dibanding aksi protes tradisional. Bentuk penyampaian yang ringan dan visual ini membuat pesan mampu menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, termasuk mereka yang biasanya apatis terhadap isu politik. Kekuatan simbol ini terletak pada kemampuannya menggabungkan hiburan dengan kesadaran sosial, sehingga memicu diskusi tanpa konfrontasi langsung. Bentuk penyampaian seperti ini membuat pesan lebih cepat menyebar dan lebih mudah diadopsi oleh berbagai kalangan. “Simbol yang tidak konfrontatif ini justru membuat orang dari latar belakang berbeda bisa menangkap pesan tanpa harus membaca manifesto panjang,” jelas Ayom.
Pemilihan bendera sebagai media protes, menurutnya, berkaitan erat dengan konteks kekinian. Simbol bendera memiliki kekuatan visual yang langsung terbaca oleh siapa pun, bahkan tanpa penjelasan verbal. Di tengah momentum peringatan kemerdekaan, pemakaian bendera juga selaras dengan atmosfer nasional yang tengah menguat. Dalam era digital, simbol visual sederhana yang memiliki keterhubungan emosional dengan banyak orang akan lebih efektif menarik perhatian dan membangun keterlibatan. “Bendera Jolly Roger efektif karena simbolnya sederhana, resonan, dan mudah diakses oleh banyak orang,” pungkas Ayom.
Ayom juga menambahkan bahwa keberhasilan pesan simbolik seperti ini tidak terlepas dari daya hidupnya di ruang digital. Di media sosial, sebuah simbol bisa terus dimodifikasi, diadaptasi, dan diproduksi ulang tanpa kehilangan makna utamanya. Proses ini membuat pesan tidak cepat usang dan justru terus menemukan audiens baru. “Selama masih ada relevansi dengan kondisi sosial, simbol seperti Jolly Roger akan terus digunakan dan dibicarakan,” tegasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : iStockphoto