
Isu penolakan udang beku asal Indonesia oleh Amerika Serikat menyoroti betapa seriusnya tantangan keamanan pangan dalam ekspor perikanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) merekomendasikan penarikan (recall) terhadap produk udang beku merek Great Value yang diimpor dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS Foods), setelah satu sampel udang menunjukkan keberadaan isotop radioaktif Cesium‑137 (Cs‑137) pada kadar sekitar 68,48 Bq/kg ± 8,25 Bq/kg. Meski masih di bawah level intervensi FDA, temuan ini tetap memicu peringatan karena berisiko jika dikonsumsi terus‑menerus dalam jangka panjang.
Indun Dewi Puspita, S.P., M.Sc. Ph.D., dosen Teknologi Hasil Perikanan UGM, menilai isu ini menjadi sorotan penting bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari petambak, industri pengolahan, eksportir, hingga pemerintah. Ia menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh dipandang sebelah mata karena menyangkut reputasi Indonesia di mata dunia. Menurutnya, langkah bersama dari semua sektor sangat diperlukan untuk memastikan kualitas dan keamanan produk tetap terjaga. “Hal ini menjadi isu yang sangat penting, khususnya untuk jaminan mutu produk perikanan Indonesia,” ujarnya, Kamis (21/8).
Indun menjelaskan, dari sisi ekonomi, kasus penolakan ini jelas membawa kerugian yang besar karena produk yang sudah diekspor tidak bisa dimanfaatkan. Kerugian tersebut juga berdampak pada rantai pasok, mulai dari biaya produksi, distribusi, hingga reputasi eksportir di pasar global. Kondisi ini memperlihatkan rapuhnya posisi industri pangan ketika standar keamanan tidak dipenuhi dengan baik. Jika dibiarkan, risiko kehilangan pasar ekspor bisa semakin nyata. “Kerugiannya sangat besar, dan di sisi lain perdagangan produk perikanan Indonesia menjadi catatan di perdagangan global, sehingga jaminan mutu harus benar-benar diperhatikan,” kata Indun.
Kepercayaan pasar internasional menjadi faktor yang sangat krusial. Sertifikasi dan standar keamanan pangan yang ketat membuat konsumen menginginkan produk yang aman dikonsumsi tanpa menimbulkan risiko kesehatan. Isu ini membuktikan bahwa setiap celah dalam rantai produksi bisa berdampak pada kepercayaan jangka panjang. Negara importir tentu tidak ingin mengambil risiko sekecil apa pun ketika menyangkut keselamatan konsumen. “Adanya isu kualitas apalagi kaitannya dengan bahaya, ini bisa menurunkan kepercayaan pasar dan berdampak panjang pada nilai jual serta produksi di dalam negeri,” terangnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya keterbukaan informasi dan sistem traceability untuk mengembalikan kepercayaan pasar global. Transparansi dianggap menjadi kunci agar sumber masalah bisa segera dilacak dan ditangani. Selain itu, sistem pelacakan juga dapat mempercepat langkah koreksi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Dengan cara ini, pelaku usaha bisa menunjukkan keseriusan mereka menjaga kualitas produk. “Respon yang cepat dan transparan menjadi hal yang sangat penting untuk mengembalikan citra dan kepercayaan dari pasar global,” jelas Indun.
Terkait potensi sumber kontaminasi, Indun menjelaskan bahwa zat radioaktif Cesium-137 tidak terbentuk secara alami, melainkan berasal dari aktivitas manusia seperti uji coba senjata nuklir atau kebocoran reaktor. Sifatnya yang bertahan lama membuat zat ini berpotensi masuk ke rantai pangan melalui air atau lahan tambak yang terkontaminasi, termasuk ke udang. Hal ini menunjukkan bahwa faktor eksternal di luar kendali petambak juga bisa memengaruhi kualitas produk. Dengan siklus lingkungan yang kompleks, risiko kontaminasi menjadi tantangan besar bagi sektor perikanan. “Siklus alami memungkinkan zat ini menyebar ke lingkungan perairan dan mempengaruhi biota, termasuk udang,” jelasnya.
Meski kadar yang ditemukan masih jauh di bawah standar intervensi, penolakan tetap dilakukan otoritas Amerika Serikat sebagai langkah pencegahan. Kebijakan ini menjadi bukti bahwa standar keamanan pangan internasional cenderung lebih mengutamakan prinsip kehati-hatian. Indun menekankan pentingnya penerapan sistem jaminan mutu dan traceability yang kuat di industri perikanan. Dengan begitu, setiap potensi bahaya dapat dicegah sejak awal sebelum menimbulkan dampak serius. “Kalau sistem jaminan mutu dan penelusuran berjalan baik, potensi bahaya menjadi sangat minim,” tegasnya.
Kasus ini juga berpotensi memberi dampak langsung kepada nelayan dan pembudidaya udang di dalam negeri. Penurunan harga lokal hingga pembatasan ekspor bisa merugikan petambak yang sudah mengeluarkan modal besar dalam budidaya. Kondisi ini menimbulkan kerentanan baru bagi petani kecil yang menggantungkan hidupnya dari udang. Jika tidak diantisipasi, efek domino dari penolakan ini bisa berimbas pada perekonomian daerah. “Kalau harga turun, kerugian bisa signifikan bagi petambak maupun pembudidaya karena udang membutuhkan biaya produksi yang tinggi,” ungkap Indun.
Dalam konteks solusi jangka panjang, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mendukung riset, inovasi, dan penguatan sistem keamanan pangan. UGM, misalnya, terus mengembangkan riset deteksi cepat serta bioindikator untuk mencegah kontaminasi sejak dini. Selain itu, perguruan tinggi juga berkontribusi melalui pelatihan, sosialisasi, dan masukan kebijakan. Upaya tersebut menjadi bukti bahwa kolaborasi akademisi, pemerintah, dan industri mutlak diperlukan untuk menjaga daya saing global. “Kontribusi perguruan tinggi penting dalam riset, pengabdian, hingga perumusan kebijakan untuk mencegah kontaminasi pada produk perikanan,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Kompas dan Dok. Tim Peneliti