
Fenomena meningkatnya kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan tanpa diikuti dengan aktivitas belanja yang signifikan atau dikenal dengan istilah “rojali” (rombongan jarang beli) dan “rohana” (rombongan hanya nanya) kian marak belakangan ini.
Menurut Ekonom Universitas Gadjah Mada, Dr. I Wayan Nuka Lantara, S.E., M.Si., kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain akibat melemahnya daya beli masyarakat dan perubahan pola konsumsi pasca pandemi. “Secara global, daya beli masyarakat sedang mengalami tekanan. Di Jerman maupun Jepang, saya melihat fenomena serupa. Di Jepang, orang lebih banyak window shopping tanpa membeli. Jadi bukan hanya di Indonesia,” ungkapnya kepada wartawan, Jumat (22/8), di Kampus UGM.
Wayan menjelaskan, di Indonesia fenomena ini dipengaruhi dua faktor utama. Pertama, kenaikan harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi membuat masyarakat melakukan realokasi anggaran. “Harga beras, daging, hingga transportasi meningkat. Akibatnya, belanja non esensial seperti pakaian atau produk gaya hidup di mal menjadi prioritas kedua,” jelasnya.
Adapun kedatangan pengunjung ke mall lebih bertujuan untuk mencari hiburan, tetapi tidak membeli karena merasa uang yang mereka miliki lebih layak dibelanjakan untuk hal lain yang lebih penting.
Lalu pada faktor kedua adalah pergeseran perilaku belanja setelah pandemi Covid-19. Kebiasaan membeli barang secara daring masih berlanjut hingga kini karena perbedaan harga yang cukup signifikan dibandingkan di mal. “Banyak orang melihat produk secara langsung di pusat perbelanjaan, lalu membelinya secara online karena lebih murah. Fenomena ini dikenal sebagai showrooming,” ujarnya.
Jika kondisi ini terus berlanjut, Wayan menilai bisnis ritel bisa terpukul, bahkan berpotensi menimbulkan PHK di sektor pusat perbelanjaan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya langkah antisipatif dari pemerintah mengingat industri ritel menyerap banyak tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya melalui sektor ekonomi ini. “Dua pihak perlu mendapat perhatian,pelaku usaha ritel melalui insentif pajak atau stimulus tertentu seperti penyelenggaraan event di mal, dan masyarakat melalui pengendalian inflasi agar daya beli terjaga. Tanpa itu, kelas menengah yang selama ini menopang konsumsi justru akan tergerus,” paparnya.
Ia menambahkan, pertumbuhan ritel di Indonesia saat ini masih di bawah rata-rata negara ASEAN yang mencapai enam persen per tahun, sedangkan Indonesia berada di bawah lima persen. Data ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, mengingat mall di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai pusat perbelanjaan, tetapi juga sebagai ruang publik bagi masyarakat dan menjadi tempat mencari peruntungan bagi para tenaga kerjanya. “Sinergi pemerintah dengan dunia usaha ritel semakin diperkuat dengan penyelenggaraan dialog atau diskusi bersama asosiasi ritel Indonesia agar apa yang menjadi keluhan dan harapan dapat tersampaikan,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : shutterstock