
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menjaring masukan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) yang diharapkan nantinya mendukung kerja BPIP lebih efektif dan membumikan pancasila secara luas di tengah masyarakat.
Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Drs. Agus Wahyudi, M.Si., M.A., Ph.D memberikan tanggapan positif terkait pembahasan RUU ini sebagai langkah penting guna memperkuat kelembagaan pembinaan ideologi Pancasila selama tetap merengkuh relevansi substantif.
Menurut Agus Wahyudi, ada dua prinsip utama agar RUU BPIP tidak kehilangan relevansi substantifnya. Pertama, harus ditempatkan dalam kerangka statecraft modern, tentang bagaimana negara merawat kohesi sosial, menumbuhkan kebajikan publik, dan memperkuat daya tahan demokrasi di tengah perbedaan pandangan. ”Ancaman ideologi kini bisa berasal dari disinformasi dunia digital, pemanfaatan politik identitas, serta ketimpangan sosial dan ekonomi yang menjadi acuan penting,” katanya, Senin (1/9).
Kedua, pembinaan ideologi Pancasila harus partisipatif, kritis, dan inklusif. Pancasila tidak boleh hanya diperlakukan sebagai value negara yang dihafalkan, tetapi sebagai living ideology yang diterapkan dalam kehidupan publik. Artinya, RUU ini harus membuka ruang dialog luas dengan masyarakat sipil, akademisi, generasi muda, dan kelompok minoritas. “Hanya dengan cara itu nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman etis bersama, bukan sekadar retorika,” tambahnya.
Sementara itu, ia menilai bahwa kekhawatiran publik agar BPIP tidak menjadi lembaga superbody merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Ia mengingatkan, potensi superbody biasanya muncul apabila sebuah lembaga diberi mandat terlalu luas tanpa sistem akuntabilitas yang jelas. Oleh karena itu, solusi dari kekhawatiran publik bukan dengan melemahkan BPIP, melainkan merancang batas kewenangan yang tegas. “BPIP boleh merumuskan pedoman dan rekomendasi strategis, tapi pelaksanaan teknis tetap di kementerian dan lembaga lain. Kewenangannya cukup untuk memandu, tapi tidak boleh sampai mengendalikan,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa prinsip transparansi dan akuntabilitas mutlak amat diperlukan. Laporan kinerja BPIP sebaiknya dipublikasikan secara periodik kepada Presiden, DPR, dan masyarakat. Dengan begitu, publik dapat memastikan bahwa BPIP berfungsi sebagai penjaga nilai Pancasila, bukan penguasa tafsir satu-satunya.
Lalu di sektor pendidikan, Agus menyarankan agar BPIP tidak mengambil alih kurikulum, melainkan berperan sebagai think tank yang menyiapkan materi Pancasila yang relevan dengan tantangan zaman. Menurutnya, pendidikan ideologi seharusnya juga terjadi di ruang publik. “BPIP bisa menjadi penggerak gerakan kreatif di komunitas, kampus, hingga media digital,” tegasnya
Sebagai penutup, Agus menegaskan bahwa harapan terbesar dari RUU ini adalah membuat Pancasila lebih hidup dalam keseharian rakyat. RUU BPIP berperan untuk menghidupkan Pancasila di tengah masyarakat, bukan sebagai pengendali hukum.
Penulis : Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kompas.id