
Penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital menunjukkan tren yang semakin positif. Hingga 31 Juli 2025, Direktorat Jenderal Pajak mencatat penerimaan sebesar Rp40,02 triliun, dengan kontribusi terbesar berasal dari PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) senilai Rp31,06 triliun atau sekitar 77,6 persen. Angka ini memperlihatkan peran signifikan ekonomi digital dalam mendukung pendapatan negara, sekaligus membuka ruang diskusi tentang strategi, keadilan, serta tantangan yang masih dihadapi. “Basis digital akan terus berkembang dan memberi ruang tambahan bagi penerimaan negara, tetapi strategi ke depan perlu diarahkan pada perluasan basis pemungut PPN PMSE sekaligus integrasi pajak digital ke dalam sistem perpajakan nasional yang lebih luas,” ujar Rijadh Djatu Winardi, Ph.D., Dosen Departemen Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Selasa (2/9).
Rijadh menilai bahwa prospek penerimaan pajak digital tetap kuat seiring pertumbuhan transaksi ekonomi digital di Indonesia. Meski begitu, pemerintah tetap harus memperhatikan kondisi makro karena realisasi penerimaan pajak secara keseluruhan baru mencapai 45 persen dari target hingga pertengahan Agustus 2025. Pertumbuhan PPN PMSE menunjukkan konsumsi digital masih meningkat, sejalan dengan proyeksi Gross Merchandise Value ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai 110 miliar dolar AS tahun ini. “Dari sisi tren PPN PMSE mengalami kenaikan, ini mengindikasikan bahwa konsumsi digital masih tumbuh, sejalan dengan proyeksi ekonomi digital Indonesia yang terus meningkat,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa digitalisasi sistem perpajakan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam pemungutan pajak digital. Implementasi teknologi melalui Core Tax Administration System (Coretax) membuat proses lebih efisien sekaligus membuka akses data yang lebih luas. Coretax juga memungkinkan klasifikasi usaha hingga nilai pendapatan tahunan dapat dipantau lebih detail oleh otoritas pajak. Sistem ini memudahkan pemungut dalam penyampaian pemberitahuan secara elektronik sehingga administrasi menjadi lebih sederhana. Bahkan dengan dukungan analitika data, pemerintah bisa mengidentifikasi pola transaksi dan potensi risiko secara lebih akurat. “Coretax memiliki posisi esensial dalam memastikan penerapan PPN PMSE lebih efektif, transparan, dan berkelanjutan, tentunya didukung dengan analitika data dan big data analysis,” jelasnya.
Kebijakan penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Final 0,5 persen bagi UMKM daring juga dinilai tepat untuk menjawab kebutuhan kesetaraan fiskal. Langkah ini bukan pajak baru, tetapi perubahan mekanisme yang menyederhanakan proses administrasi dan mempermudah pedagang daring. Pada saat yang sama, kebijakan ini dipandang mampu meningkatkan kepatuhan sukarela di kalangan pelaku usaha. Rijadh menegaskan bahwa pedagang orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenakan pajak dalam skema ini sehingga pelaku usaha kecil tidak perlu khawatir. Ia menyebut mekanisme ini membantu menciptakan level playing field antara usaha luring dan daring agar perlakuan fiskalnya lebih adil. “Respon dari pelaku usaha relatif positif karena mekanisme pemungutan melalui marketplace dipandang lebih praktis dan mendorong kepatuhan tanpa menambah beban signifikan,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga berupaya memperluas basis pajak digital di luar sektor e-commerce. Fintech, aset kripto, serta layanan digital lain kini menjadi sumber penerimaan baru yang terus diperkuat melalui regulasi dan pengawasan. Upaya ini penting agar ruang fiskal negara tetap terjaga di tengah pertumbuhan pesat ekonomi digital. Rijadh mencontohkan lahirnya PMK 37/2025 yang menjadi solusi atas banyak transaksi daring yang sebelumnya luput dari mekanisme pajak tradisional. Ia juga menyebut aturan terbaru PMK 50/2025 untuk sektor kripto sebagai bentuk respons pemerintah terhadap masukan pelaku industri agar tarif lebih jelas dan kepastian hukum lebih terjamin. “Dengan kebijakan ini, pelaku usaha kripto lebih percaya diri untuk beroperasi di dalam negeri karena tarif lebih jelas dan administrasi lebih sederhana,” katanya.
Rijadh juga menekankan pentingnya pajak digital dalam mendukung keberlanjutan fiskal. Dengan desain kebijakan yang sederhana, transparan, dan adil, basis penerimaan negara bisa diperluas tanpa harus menaikkan tarif. Hal ini akan menjaga kesetaraan antara usaha besar, UMKM, maupun pelaku ekonomi digital. Ia menilai pendekatan ini mampu meminimalkan potensi kebocoran penerimaan negara sekaligus memperkuat kepatuhan sukarela dari wajib pajak. Selain itu, penghapusan PPN untuk transaksi kripto yang diganti dengan PPh Final menjadi contoh bagaimana kebijakan pajak dapat adaptif terhadap dinamika industri digital. “Pajak digital memperluas basis penerimaan negara, menjaga keadilan fiskal, dan memastikan ruang fiskal tetap kuat untuk mendukung pembiayaan pembangunan,” terangnya.
Meski begitu, masih terdapat sejumlah tantangan yang perlu segera diatasi pemerintah. Masalah kepatuhan, keberadaan shadow economy, serta rendahnya kesadaran pajak di kalangan pelaku digital masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar. Karena itu, strategi ke depan harus diarahkan pada penguatan sistem, perluasan basis pajak, serta peningkatan literasi dan kesadaran publik. Rijadh menekankan bahwa kerja sama internasional juga perlu diperkuat agar hak pemajakan Indonesia tetap terjaga di tengah kompleksitas aturan global. Ia menambahkan bahwa edukasi publik harus dilakukan dengan cara yang lebih kreatif agar pesan tentang pentingnya pajak dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. “Membangun kesadaran publik melalui edukasi, penyederhanaan aturan, dan transparansi proses sangat penting agar penerimaan pajak digital terus tumbuh secara berkelanjutan,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Dok.Humas FEB UGM