
Aksi demonstrasi yang menjurus pada tindak kekerasan, penjarahan, pembakaran gedung dan fasilitas publik terjadi di berbagai daerah. Bermula dari dari aksi protes dan penyampaian aspirasi mahasiswa dan masyarakat terkait berbagai kebijakan pemerintah dan DPR yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Kemarahan massa ini diperparah oleh peristiwa kendaraan taktis (rantis) Barakuda yang melindas pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, pada 28 Agustus silam yang menyebabkan yang bersangkutan meninggal dunia.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada Achmad Munjid, M.A., Ph.D, menilai aksi kekerasan dan kemarahan ini tidaklah terjadi secara tiba-tiba, melainkan eskalasi panjang dari kekecewaan rakyat yang akhirnya memuncak akibat ketimpangan sosial yang berlangsung secara berkepanjangan.“Kalau kita mengikuti apa yang berlangsung ini kan bukan peristiwa yang tiba-tiba. Ini merupakan akibat dari akumulasi serangkaian hal dan urusan yang sifatnya panjang. Yang kira-kira akar persoalannya itu ketimpangan sosial ekonomi,” jelasnya, Selasa (2/9).
Ia menjelaskan bahwa saat ini kondisi ekonomi Indonesia berada dalam kondisi yang sulit. Maraknya Pemutusan Hak Kerja (PHK), bisnis yang lesu, serta anggaran negara yang tekor menjadi contohnya. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para pemimpin negara dianggap sangat tidak sensitif terhadap kondisi yang ada. Kemewahan dan fasilitas yang dipamerkan para pejabat memberikan jurang yang besar antara pemerintah yang dengan rakyat. Terlebih, dengan adanya dengan komentar-komentar para wakil rakyat yang menyakiti hati masyarakat memperburuk keadaan. “Jadi rakyat banyaknya ini tidak merasa diwakili, tidak merasa dibela, tidak merasa didengar,” ungkapnya.
Ada pun dengan kejadian yang menimpa Affan, diakui Munjid, menjadi titik di mana kemarahan-kemarahan dan kekecewaan kolektif yang dipendam publik akhirnya meledak. Munjid menjelaskan bahwa sebenarnya banyak orang-orang yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, karena tidak bisa mengakses pekerjaan lain yang lebih layak, juga sebagai dampak dari badai PHK yang terjadi. Terlebih dengan status para pengemudi yang hanya sebatas mitra, membuat mereka rentan, serta tidak memiliki perlindungan dan jaminan kesehatan dan kerja yang layak. Diperparah, dengan kondisi mereka yang sedemikian rupa, tanpa jam kerja dan libur yang jelas, dianggap tidak menganggur. Padahal, pekerjaan mereka merupakan pekerjaan nonformal yang tidak membuat mereka mendapatkan jaminan sosial. “Makanya presiden sempat bilang angka pengangguran menurun, angka kemiskinan menurun, padahal sebetulnya pekerjaan mereka bukan pekerjaan yang real,” ungkapnya.
Pengendalian Keamanan
Ia pun mengungkapkan bahwa pengendalian keamanan yang saat ini tengah berlangsung, tidak membantu meredam kemarahan publik, justru menyulut kemarahan yang lebih besar. Ia menilai bahwa seharusnya ada tindakan yang serentak, bahwa ketegasan dengan memberikan hukum kepada pihak yang melanggar, harus selaras dengan tuntutan masyarakat yang perlu didengar. Sebab, massa yang sedang marah jika direspons dengan kekerasan justru akan merespons dengan lebih keras lagi. Oleh karena itu, ia meminta aparat tidak menggunakan kekerasan dalam menghalau aksi para demonstran. “Mestinya para pemegang otoritas dan kebijakan itu paham bahwa kekerasan yang ditekan dengan kekerasan lebih besar itu tidak selalu bisa efektif,”imbuhnya.
Munjid mengingatkan pemerintahan untuk mendengarkan aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat, dan membenahinya secara struktural. Dengan menyelesaikan akar dari permasalahan yang ada seperti merevisi kebijakan, mengganti pejabat-pejabat yang arogan, serta menghentikan program-program pemerintah yang dinilai memberatkan anggaran.
Ia pun meminta agar seluruh pihak, seperti tokoh-tokoh agama, akademisi, orang-orang dengan otoritas dan berpengaruh serta media ikut berpartisipasi dalam penyuaraan aspirasi dan tuntutan ini, bukan hanya menghimbau masyarakat untuk menahan diri. “Jadi masyarakat akan bisa menahan diri, akan bisa mendengarkan himbauan, kalau para tokoh ini membuktikan bahwa mereka ada di pihak rakyat, mereka mendengar suara rakyat, dan mereka ikut menyampaikan aspirasi mereka untuk mengubah banyak hal yang bermasalah yang harus diubah itu,” pesannya.
Terakhir, ia menekankan bahwa masalah ini memang berakar dari ekonomi, namun solusi dan mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan demokrasi. Ia menilai, bahwa saat ini demokrasi yang berjalan masih satu pertiga dari ideal demokrasi. Suara masyarakat, masih digunakan hanya sebatas untuk legitimasi dan justifikasi, namun aturan dan perundangan yang ada belum berpihak dan mendengarkan rakyat. “Problem demokrasi, solusinya juga ada pada demokrasi. Jangan sampai apa yang berlangsung sekarang itu justru makin menjauhkan kita dari demokrasi. Penggunaan kekerasan, penggunaan militer, tanpa mendengar suara dari bawah, itu solusi yang semakin menjauhkan kita dari demokrasi,” ujarnya mengakhiri.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie