
Dosen Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM, Prof. Dr. Azhari., M.T., dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Rekayasa Multiagen Cerdas, Kamis (4/9)di Balai Senat UGM. Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul Paradigma Kolaboratif Manusia Dengan AI Adaptif: Menyongsong Masa Depan Rekayasa Sistem Cerdas pada Era Hibrid Ekosistem Digital, Azhari menguraikan bagaimana evolusi rekayasa cerdas untuk interaksi simbiotik antara manusia dan AI adaptif. Kolaborasi ini, disebutnya, membuka peluang inovatif dalam merancang ekosistem digital hybrid. Bentuk paradigma baru ini menjadi resilien, etis, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Menurutnya, evolusi platform digital cerdas terus berkembang sangat cepat. Integrasi antara manusia dengan AI menjadi bagian penting dan tidak terhindarkan dalam sistem digital modern. Masyarakat dunia pun sedang memasuki era baru dalam evolusi industri sistim digital. Teknologi tidak lagi berfungsi semata sebagai pendukung aktivitas kerja. Perannya pun kini bergeser menjadi mitra adaptif dan berkontribusi secara aktif, dan sistem cerdas adaptif ini mampu memahami dan belajar secara mandiri. Bahkan mereka dinilai mampu beradaptasi dan merespons secara otonom terhadap situasi yang berubah-ubah.“Agen-agen AI tidak hanya bereaksi, tetapi juga membuat keputusan sendiri berdasarkan tujuan. Kolaborasi antara manusia dan AI agentik menjadi fondasi utama teknologi masa depan,” ujarnya
Iapun mengungkapkan kolaborasi manusia dan teknologi pada dasarnya mencakup dimensi teknis, sosial, dan filosofis. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat dalam praktik sistem cerdas. Melalui kolaborasi tersebut, peran manusia perlu ditinjau ulang, dan manusia bukan lagi pengendali tunggal atas teknologi. Sebaliknya manusia menjadi rekan sejajar dalam membentuk masa depan yang inklusif dan visioner. “Kita sedang memasuki fase bersejarah di mana sistem digital bukan lagi sekedar alat bantu manusia, tetapi menjadi entitas cerdas yang hidup, belajar dan beradaptasi bersama kita. Inilah era singularitas teknologi yang bukan fiksi ilmiah, tetapi tantangan rekayasa industri cerdas,” terangnya.
Membahas tentang paradigma Agentik AI dalam ekosistem Hiper-hibrid, Azhari menyatakan paradigma rekayasa sistem cerdas terus mengalami transisi dari AI agen menuju sistem berbasis agentik adaptif. Sebagai repons atas kebutuhan adaptasi yang lebih tinggi tersebut muncul pendekatan baru yang dikenal sebagai Paradigma Sistem Agentik AI yaitu suatu sitim agentik yang memungkinkan agen-agen AI memiliki kapasitas berpikir, belajar, dan bertindak secara otonom. “Setiap AI agen pada sistem agentik adaptif juga mampu mengatur ulang tujuan, membentuk intensi baru, dan mengevaluasi ulang strategi ketika konteks berubah. Pendekatan ini menggabungkan prinsip kognisi terdistribusi dan perilaku reflektif diri. Paradigma agentik otonom ini memungkinkan agen-agen AI tidak hanya berinteraksi, tetapi juga berevolusi,” imbuhnya.
Di bagian akhir pidatonya, Azhari menandaskan dalam konteks sistem cerdas ekstrem, kolaborasi lintas disiplin menjadi keharusan dan tidak dapat ditunda maupun disubordinasikan. Ketika pengambilan keputusan-keputusan otonom AI bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial maka setiap proses rekayasa perangkat lunak berubah menjadi tindakan sosial dan etis yang mengikat. “Setiap aktor tidak hanya sebagai mitra fungsional, tetapi sebagai ko-kurator nilai, tanggung jawab, dan keberlanjutan sistim digital adaptif. Validitas bukanlah satu-satunya parameter keberhasilan. Karena setiap pelaku pengambilan keputusan harus dapat diaudit, dikoreksi oleh manusia dengan AI dalam kerangka etika kolektif,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Donnie