
Gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat sipil yang dalam beberapa pekan terakhir menyuarakan sejumlah tuntutan, baik yang bersifat jangka pendek seperti pembahasan RUU perampasan aset maupun jangka panjang menyangkut perbaikan sistem demokrasi dan ekonomi nasional. Aksi demonstrasi yang marak di berbagai daerah tidak bisa dipahami hanya sebagai respons spontan, tetapi lahir dari kondisi sosial yang sudah lama menekan publik. Sejak pandemi, masyarakat menghadapi beban ekonomi yang semakin berat, ditambah dengan kebijakan yang seringkali tidak berpihak pada rakyat. Namun tindakan represif aparat sebagai salah satu faktor yang memperbesar emosi massa dan menciptakan lingkaran kemarahan yang sulit dikendalikan. “Tindakan represif berlebihan hanya akan menambah amarah publik, karena pada dasarnya kemarahan masyarakat saat ini dipicu kondisi sosial ekonomi yang makin berat, bukan sekadar isu tunggal,” kata Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM dalam Diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk ‘Antara Hak Bersuara dan Stabilitas Bangsa: Menelaah Demonstrasi Indonesia Terkini’, Kamis (4/9), di Selasar Tengah Gedung Pusat UGM.
Munjid menyoroti jarak antara rakyat dan para wakilnya di parlemen yang semakin jauh. Ia menekankan bahwa diskoneksi ini membuat aspirasi publik seolah tidak pernah terhubung dengan proses politik formal. Menurutnya, kondisi ini semakin diperparah oleh partai politik yang belum menjalani reformasi pascareformasi 1998, sehingga fungsinya kerap hanya berputar di lingkaran elit. Ia mengingatkan bahwa tanpa tekanan publik, kebijakan yang lahir dari lembaga politik akan cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat. Dalam kondisi demikian, ia menilai kampus dan media memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga suara kritis agar tetap terdengar. “Kalau kekuasaan tidak dipaksa dan dikontrol secara efektif, ia hanya akan bekerja untuk dirinya sendiri, bukan untuk rakyat,” jelasnya.
Sementara Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.I.P., M.A., Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, menilai pola demonstrasi yang terjadi belakangan berbeda dengan satu dekade lalu. Menurutnya, peran influencer di media sosial semakin dominan dalam mendorong massa untuk turun ke jalan, menggantikan peran yang dahulu lebih banyak dimainkan organisasi mahasiswa atau aktivis. Ia juga menilai bahwa sejumlah tuntutan masyarakat yang muncul telah berhasil membingkai gerakan agar lebih jelas arahnya, meski pemerintah sejauh ini belum sepenuhnya merespons dengan substansial. “Apa yang ditunjukkan saat aksi damai di Yogyakarta pada Senin lalu mencerminkan bagaimana masyarakat tetap bisa kritis dan menyuarakan pendapat dengan cara bermartabat, dan ini bisa menjadi role model bagi bangsa,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Alfath menyebut ada kegagalan reformasi kepolisian pascareformasi yang membuat institusi ini masih rentan dipolitisasi. Ia menyoroti bagaimana polisi dalam satu dekade terakhir kerap digunakan sebagai instrumen politik, sehingga tidak sepenuhnya menjalankan fungsi perlindungan masyarakat. Menurutnya, dalam kondisi ekonomi yang semakin menekan, paradoks antara hidup sederhana masyarakat dengan fasilitas pejabat memperbesar jurang ketidakpercayaan. “Negara telah gagal melindungi masyarakat, sehingga kemarahan publik muncul sebagai bentuk akumulasi kekecewaan atas kebijakan yang regresif,” ujarnya.
Sedangkan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof. Dr. Faturochman, M.A., menyoroti dimensi psikologis dari keterlibatan generasi muda dalam aksi unjuk rasa. Ia menilai partisipasi mahasiswa dan Gen Z muncul karena rasa kecewa yang menumpuk, bukan sekadar mengikuti tren atau rasa takut tertinggal. Fenomena ini menunjukkan bahwa kaum muda tidak apatis, melainkan memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu keadilan sosial. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya kebutuhan besar untuk kanal partisipasi yang sehat agar energi kolektif mereka tidak tereduksi menjadi kemarahan semata. Tekanan sosial yang dialami generasi ini, baik karena faktor ekonomi maupun hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah, membuat aksi di jalan menjadi saluran yang dianggap wajar. “Ketika orang kecewa dan tidak ada tanda-tanda perubahan, maka kesesakan itu akan melahirkan perlawanan, dan ini adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan sosial kita,” tuturnya.
Faturochman menambahkan bahwa relasi antara pemimpin dan rakyat harus dibangun di atas penghormatan, bukan sekadar empati sesaat. Ia mengingatkan bahwa masyarakat bukan objek pasif, melainkan aset bangsa yang perlu dihargai agar kepercayaan tetap terjaga. Ia menegaskan bahwa ketika potensi masyarakat diabaikan, maka kepercayaan publik akan runtuh, dan kondisi ini berbahaya bagi stabilitas jangka panjang. “Yang lebih mendasar dari empati adalah rasa hormat. Rakyat ini punya potensi besar, dan ketika tidak dihormati, maka kepercayaan akan hilang,” katanya.
Di akhir diskusi Pojok Bulaksumur, para pembicara sepakat bahwa demonstrasi yang terjadi belakangan ini tidak boleh dipandang semata sebagai ancaman, melainkan sebagai cerminan kegelisahan masyarakat yang harus dijawab secara serius oleh negara. Para narasumber menilai bahwa respons instan dan parsial tidak akan cukup, karena akar persoalan terletak pada struktur politik dan institusi yang belum sepenuhnya menjalankan mandat publik. Mereka menekankan pentingnya reformasi menyeluruh, mulai dari perbaikan institusi kepolisian, pembenahan partai politik, hingga upaya membuka ruang partisipasi rakyat secara lebih luas. Diskusi ini juga menegaskan perlunya kampus, media, dan masyarakat sipil menjaga keberlangsungan suara kritis agar tidak terpinggirkan.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Firsto