
Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Gadjah Mada mengukuhkan Prof. Dr. Drs. Dafri, M.A., sebagai Guru Besar dalam bidang Diplomasi Hak Asasi Manusia dan Kepemimpinan Global di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, pada Selasa (9/9) di Balai Senat UGM. Dalam pidato pengukuhan yang berjudul ‘Membangun dan Memperkuat Nasionalisme-Kosmopolitan untuk Pemenuhan, Pemajuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia’, ia menegaskan pentingnya membangun paradigma baru yang menggabungkan cinta tanah air dengan kesadaran sebagai warga dunia. “Keberhasilan membangun dan memperkuat nasionalisme-kosmopolitan pada warga negara di seluruh dunia merupakan modal utama dalam mencegah, menghentikan, dan menyelesaikan pelanggaran HAM,” tuturnya.
Dafri menyoroti masih maraknya pelanggaran HAM berat di berbagai belahan dunia, termasuk genosida dan kekerasan sistematis yang menimpa kelompok minoritas. Ia menjelaskan bahwa ironi besar terjadi ketika dunia modern yang penuh dengan instrumen hukum internasional justru gagal melindungi manusia dari kekejaman. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara komitmen normatif dengan praktik di lapangan yang masih lemah. “Dilihat dari perspektif HAM, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja,” katanya.
Ia juga menyinggung situasi di Indonesia yang hingga kini masih menyisakan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan secara tuntas. Berbagai peristiwa sejarah mencatat ribuan korban, namun penyelesaian hukum dan rekonsiliasi sering kali berjalan stagnan. Dalam hal ini, pemenuhan keadilan transisional menjadi kebutuhan mendesak agar luka sejarah tidak terus diwariskan. “Di Indonesia sendiri telah terjadi pelanggaran HAM berat berulang kali dengan jumlah korban ribuan orang, dan hingga kini belum terselesaikan melalui mekanisme akuntabilitas yang memenuhi prinsip keadilan transisional,” ungkap Dafri.
Dalam refleksinya, Dafri menyatakan bahwa HAM bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja, melainkan hasil dari perjuangan panjang melawan ketidakadilan. Ia merujuk pada pandangan ‘mazhab protes’ yang melihat hak asasi manusia sebagai buah aktivisme dan perlawanan. Kesadaran dan aksi kolektif warga dunia menjadi penopang utama dalam menjaga nilai kemanusiaan universal. “Hak asasi manusia bukanlah sesuatu yang given, melainkan sebagai hasil perjuangan dan perlawanan dalam menentang ketidakadilan dan menuntut perubahan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Dafri menuturkan konsep nasionalisme dan kosmopolitanisme tidak seharusnya dipertentangkan, melainkan disinergikan. Ia memperkenalkan gagasan nasionalisme-kosmopolitan sebagai wujud cinta tanah air yang berpadu dengan tanggung jawab global. Melalui pendekatan ini, manusia dapat tetap bangga pada identitas kebangsaannya, namun sekaligus peduli terhadap penderitaan sesama warga dunia. “Nasionalisme-kosmopolitan merupakan konsep yang menggabungkan nilai-nilai nasionalisme dan kosmopolitanisme, sehingga seseorang dapat memiliki rasa kebangsaan yang kuat sambil tetap menghargai dan berpartisipasi dalam komunitas global,” tegasnya.
Dafri pun menegaskan bahwa praktik nasionalisme-kosmopolitan sesungguhnya sudah lama tumbuh di Indonesia, bahkan tercermin dalam nilai-nilai Pancasila. Meski implementasinya sering mengalami pasang surut, semangat untuk memadukan nasionalisme dengan kemanusiaan universal tetap relevan untuk menjawab tantangan kontemporer. “Disepakatinya sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab menegaskan bahwa Indonesia telah mengadopsi ideologi kosmopolitanisme dan berkomitmen terhadap pemenuhan, pemajuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di dunia.”
Sebagai penutup, Dafri mengajak seluruh warga dunia, khususnya generasi muda Indonesia, untuk menjadi pejuang HAM dalam kapasitas masing-masing. Ia menekankan bahwa perjuangan kemanusiaan bisa dilakukan dengan suara, pena, aksi solidaritas, maupun diplomasi lintas negara. Dengan begitu, nasionalisme-kosmopolitan tidak hanya menjadi konsep, melainkan juga praktik nyata dalam membela martabat manusia. “Kita mungkin tidak memiliki senjata, kuasa, kekayaan atau panggung politik untuk menjadi pejuang HAM, tetapi kita memiliki jiwa dan raga, hati nurani, moral dan etika, pemikiran, suara, dan juga pena,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie