
Kerusuhan yang terjadi di sejumlah daerah Indonesia pada akhir Agustus hingga awal September 2025 memunculkan fenomena ‘Warga Jaga Warga’. Di Bandung, warga mendeklarasikan ‘Warga Jaga Warga, Warga Jaga Kota’ sebagai upaya menjaga ketertiban bersama. Sama halnya di Yogyakarta, warga secara serentak memasang status di media sosial ‘Ayo Jaga Jogja Bebarengan’. Sementara di Jakarta dan beberapa kota lain warga secara spontan turun tangan mendukung aparat agar situasi tetap kondusif. Aksi-aksi ini memperlihatkan bagaimana solidaritas dan pertemanan antarwarga menjadi modal sosial penting di tengah krisis.
Fenomena ini selaras dengan temuan penelitian berjudul “My Neighbor, My Friend: The Relevance of Support, Closeness, and History of Relations in Neighborhood Friendship” yang dikaji oleh Dr. Wenty Marina Minza, S.Psi., M.A., dosen Fakultas Psikologi UGM, beserta timnya. Hasil riset ini berhasil dipublikasikan di Human Arenas, jurnal internasional bereputasi Q1 pada tahun 2022 silam. Penelitian tersebut menegaskan bahwa pertemanan di lingkungan tetangga tetap relevan karena dengan adanya dukungan, kedekatan emosional, dan sejarah hubungan, solidaritas warga mampu hadir secara alami dalam situasi penuh ketidakpastian.
Menurut Wenty, penelitian ini berangkat dari pertanyaan sederhana mengenai relevansi pertemanan dalam konteks pertetanggaan di tengah mobilitas masyarakat yang semakin tinggi. Kehidupan modern membuat interaksi tatap muka antarwarga kian berkurang, digantikan dengan jejaring daring yang lebih luas. Namun, pandemi COVID-19 yang menjadi latar penelitian justru menunjukkan bahwa tetangga sering kali menjadi lingkaran sosial penting setelah keluarga dalam menghadapi krisis. “Hal ini memunculkan pertanyaan, sejauh mana pertemanan dengan tetangga masih relevan hari ini?” ungkapnya, Selasa (9/9).
Hasil penelitian menemukan tiga faktor utama yang membuat pertemanan antarwarga tetap bertahan. Dukungan, baik yang bersifat praktis maupun emosional, menjadi ciri pertama yang menandai seseorang dianggap teman. Kedekatan kemudian memperkuat dukungan itu, menghadirkan rasa akrab, kepercayaan, dan keterikatan emosional yang sering kali dimaknai seperti keluarga sendiri. Sejarah hubungan menjadi faktor unik, karena pengalaman bersama sejak kecil atau kegiatan di kampung mampu menumbuhkan pertemanan lintas generasi. “Ketiga unsur tersebut bekerja saling melengkapi dalam memastikan pertemanan tetap terjaga,” jelasnya.
Ketika ditanyakan tentang fenomena warga jaga warga yang muncul belakangan ini, Wenty menilai ada keterkaitan meski dalam level yang berbeda. Pertemanan antarwarga berada pada ranah interpersonal, sementara solidaritas seperti warga jaga warga lebih pada level komunitas. Namun, komunitas yang diwarnai banyak relasi pertemanan interpersonal tentu memiliki peluang lebih besar untuk kohesif. Dalam konteks krisis, kedekatan yang sudah terjalin di level personal sering kali memudahkan terbentuknya solidaritas kolektif. Ikatan yang berangkat dari pengalaman sehari-hari itulah yang kemudian berkembang menjadi kekuatan bersama menjaga lingkungan. “Suatu kelompok atau komunitas yang relasi intrakelompoknya diwarnai banyak pertemanan interpersonal, akan memiliki peluang lebih besar untuk kohesif,” terangnya.
Relevansi pertemanan dengan tetangga, lanjut Wenty, juga penting dalam menghadapi tantangan modern seperti mobilitas tinggi dan kehidupan digital. Meskipun orang semakin sibuk dan terhubung dengan berbagai jejaring, ada kesadaran kolektif untuk tetap menjalin relasi dengan tetangga. Kehidupan digital bahkan memberi ruang baru untuk menjaga hubungan meskipun secara fisik sudah berjauhan. Dinamika ini menunjukkan bahwa pertemanan dengan tetangga bukan hanya warisan lama yang tergerus zaman, melainkan nilai yang terus menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Dengan kata lain, teknologi justru bisa menjadi medium untuk memperkuat relasi yang sudah ada, bukan menggantikannya. “Dukungan, kedekatan, dan sejarah relasi dalam pertemanan dengan tetangga dapat menjadi penguat menjaga kohesivitas sosial,” tuturnya.
Wenty menekankan pentingnya memelihara ikatan pertemanan dengan tetangga sebagai modal sosial menghadapi krisis. Dalam banyak situasi genting, tetangga adalah orang pertama yang hadir memberi dukungan bahkan sebelum keluarga jauh sempat datang. Karena itu, relasi yang dibangun dalam konteks pertetanggaan sebaiknya dipandang sebagai aset sosial yang berharga. “Relasi pertemanan yang dikembangkan dalam konteks pertetanggaan bisa menjadi modal sosial yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan dan krisis yang dihadapi sebuah komunitas,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Ilustrasi: Freepik