
Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam menggapai ambisi menjadi ‘raja energi hijau dunia’. Langkah ini semakin nyata setelah ditandatanganinya nota kesepahaman dengan pemerintah Singapura terkait kerja sama ekspor listrik.
Menanggapi kerja sama tersebut, Dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM, menilai kerja sama ini sebagai peluang besar bagi Indonesia. Pasalnya, kesepakatan ini membuka peluang untuk mengekspor produk dengan nilai tambah tinggi, bukan lagi sekadar ekspor barang mentah. “Ekspor listrik ini adalah salah satu caranya, karena kita tidak lagi menjual barang mentah, tapi produk olahan,” jelasnya, Rabu (10/9).
Selain itu, Rachmawan menilai proyek ini akan memberikan nilai tambah signifikan bagi perekonomian nasional. Ekspor listrik akan mendorong pembangunan pembangkit di dalam negeri, sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas dan diharapkan mampu meningkatkan penggunaan komponen lokal.
Tidak hanya itu, Rachmawan juga menyoroti keuntungan dari sisi harga. Sebab, harga yang dipatok adalah harga internasional sehingga menarik bagi pelaku usaha dan bisa menguntungkan bagi negara.
Ia meyakini, apabila ekspor listrik berjalan dengan lancar, hal ini akan mendorong pertumbuhan green economy. Apalagi pendapatan diperoleh dari penjualan listrik yang dihasilkan dari komoditas beremisi rendah. “Kita menghasilkan income dengan aktivitas yang low carbon.” pungkasnya.
Soal adanya kekhawatiran akan pasokan listrik domestik, Rachmawan memberikan analogi bahwa Pulau Sumatra memiliki area yang sangat luas dengan berbagai potensi energi, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTGU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). “Artinya, jika kita hanya membutuhkan sebagian kecil area Sumatera untuk ekspor listrik ke Singapura, saya rasa tidak akan terlalu berdampak bagi pasokan kebutuhan listrik lainnya di sekitar Sumatera.” jelasnya.
Namun, ia menekankan pentingnya pertimbangan keseimbangan antara kebutuhan ekspor dan domestik. Pembatasan khusus bisa diberlakukan jika lokasi pembangkit listrik untuk ekspor berada di daerah yang masih sangat membutuhkan peningkatan pasokan listrik.
Menanggapi skema bisnis yang akan diterapkan, Rachmawan menekankan pentingnya perhitungan yang matang dan menarik bagi semua pihak, baik Singapura maupun perusahaan swasta. Ia menjelaskan bahwa jika skemanya tidak kompetitif, pihak swasta mungkin akan lebih memilih berinvestasi di negara tetangga. “Jika itu terjadi, kita akan kehilangan peluang besar ini.” ujarnya.
Skema kerja sama ekspor listrik yang disusun harus mampu menarik investor agar Indonesia tetap menjadi pemain utama dalam proyek ini. Terakhir, Rachmawan menyoroti bahwa pembangunan infrastruktur kabel bawah laut pada prinsipnya secara teknis tidak lagi menjadi kendala. Ia meyakini, para teknisi dan ahli di bidang ini memiliki pengalaman serta kajian mendalam yang mumpuni. Namun, ia mengingatkan, dalam proses pembangunan dan pelaksanaannya, perlu perhatian khusus, misalnya agar tidak mengganggu jalur lalu lintas kapal. “Perencanaan harus matang untuk meminimalisir dampak terhadap kegiatan maritim di wilayah tersebut,” pungkasnya.
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara