![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/01/09012015785580931774281270-766x510.jpeg)
Hubungan Amerika Serikat dan Iran kian memanas pasca Serangan drone AS yang membunuh jenderal top Iran, Qasem Soleimani, di dekat Bandara Baghdad, Irak, pada Jumat 3 Januari lalu. Meski berbagai negara khawatir konflik tersebut bakal berujung peperangan terbuka, namun menurut pengamat hubungan internasional UGM, Yunizar Adiputera, M.A., kecil kemungkinan konflik tersebut berujung pada perang terbuka, sebab keduanya saling menarik diri. Namun, ia menyayangkan Presiden Donald Trump yang melakukan kebijakan dalam melakukan serangan tanpa melakukan diplomasi multilateral atau meminta persetujuan kongres Amerika dan hanya mengandalkan kekuasaan individual.
“Sulit dibenarkan secara hukum internasional, logika yang dibangun selama ini hanya bahwa ia (Jenderal Qasem) orang jahat atau teroris, sementara dalam hukum internasional serangan hanya bisa dilakukan atas dasar pembelaan diri (self defense) atau jika ada ancaman yang mendesak (imminent),” kata Yunizar kepada wartawan di kampus UGM, Selasa (14/1).
Kejadian konflik antara Iran dan AS ini menunjukkan gejala besar penyakit internasional bahwa pemimpin Amerika Serikat sekarang ini mengambil kebijakan secara individu dan cenderung bilateral. “Lebih cenderung merespons lewat bilateral tidak lagi lewat jalur PBB atau komunikasi multilatetal,” katanya.
Menurutnya, diplomasi lewat perundingan multilateral sangat penting dalam penyelesaian konflik bukan mengambil kebijakan sendiri dari sebuah negara besar. “Sebaiknya saat ini semua negara memastikan penyelesaian secara diplomatik dan multilatetal,” katanya.
Soal kemungkinan perang terbuka antara Iran dan AS, menurut Yunizar, kecil kemungkinan terjadi sebab Iran menyadari kekuatan militer mereka tidak bisa mengimbangi militer AS. Meskipun Iran memiliki hubungan yang baik dengan Rusia dan China, namun kedua negara tersebut tidak akan terlibat lebih jauh. Sementara dari pihak Amerika, menurutnya, publik Amerika tidak akan mendukung kebijakan perang Timur Tengah terulang kembali. “Publik Amerika juga tidak menginginkan perang Timur Tegah dan dukungan publik Amerika ke Trump juga tidak kuat,” paparnya.
Sementara pengamat kebijakan luar negeri dari Fisipol UGM lainnya, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, menuturkan negara seperti Inggris dan Perancis dinilai tidak akan terlibat dalam konflik Iran-AS tersebut. Sebab, hubungan diplomatik pemimpin negara Eropa tersebut dengan Donald Trump tidak sekuat pada era pemimpin Amerika sebelumnya. “Di masa Trump, hubungan Amerika dengan Perancis dan Inggris tidak sekuat seperti dulu. Apalagi dengan Jerman terkait munculnya kasus AS menyadap percakapan telepon para pemimpin dunia sehingga mulai memunculkan ketidaksukaan dengan Trump,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)