
Pemerintah saat ini tengah memaksimalkan potensi panas bumi dengan menambah jumlah kapasitas listrik dari Pembangkit Tenaga Panas Bumi (PLTP) di berbagai daerah di Indonesia. Meskipun hal tersebut memberi banyak dampak positif namun penggunaan panas bumi sebagai energi tetap menimbulkan tantangan sendiri terutama dari sisi SDM dan penguasaan teknologi.
Geolog UGM Ir. Pri Utami, M.Sc.,Ph.D., menyebutkan pengembangan energi panas bumi di Indonesia masih difokuskan pada area gunung api berumur Kuarter, pada sistem hidrotermal bertemperatur tinggi. Pri mengungkapkan bahwa tingkat keberhasilan dalam mengeksplorasi menemukan sumber panas bumi sebelum dilakukannya pemboran adalah 50%. Belum lagi biaya pemboran per sumur yang tinggi, sekitar USD 10 juta membuat pengembangan panas bumi pada tahap eksplorasi memiliki risiko investasi yang tinggi. Untuk itu perlu dilakukan investasi berupa penelitian sebelum dilakukan pengeboran.
“Menurunkan risiko tersebut diperlukan investasi berupa penelitian geosains (geologi, geokimia, dan geofisika) untuk menduga keadaan bawah permukaan secara lebih rinci. Teknologi pemboran juga perlu ditingkatkan agar dapat mengakses ke dalam yang dituju dengan lebih cepat,” ungkapnya, Jumat (12/9), di Kampus UGM.
Dikatakan Pri, sebenarnya energi panas bumi dapat diekstraksi dari semua tempat, sebab pada dasarnya lokasi potensi energi panas bumi tersebar merata di Bumi. Namun hingga saat ini pengembangan energi panas bumi pada jenis sistem hidrotermal bertemperatur tinggi ini mensyaratkan ditemukannya fluida panas dengan tingkat temperatur antara 225 hingga 300°C, komposisi kimia yang bersahabat dengan tingkat pH netral pada batuan yang permeabel, tingkat kedalaman antara 1-3 km.
Meski eksplorasi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi memerlukan biaya cukup besar, namun Pri menilai potensi energi panas bumi memiliki beragam manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Pri menyebutkan proyek ini membuka lapangan pekerjaan. “Pelaksanaan proyek pengembangan panas bumi mulai dari eksplorasi hingga pengembangan lapangan membutuhkan tenaga kerja lokal yang sangat banyak, serta membuka peluang usaha pendukung seperti catering, akomodasi, transportasi, jasa dan lain-lain,” jelasnya.
Selanjutnya, beberapa lapangan energi panas bumi mampu menghasilkan produk samping diantaranya endapan mineral-mineral yang dapat diolah menjadi penyubur dan penguat tanaman. “Upaya peningkatan pasokan energi listrik lewat energi panas bumi ini mendorong peningkatan ketahanan pangan,” ungkapnya.
Kendati menghasilkan beragam dampak positif, namun Pro menyebut terdapat risiko dari eksplorasi panas bumi. Pri mengungkapkan bahwa pengembangan area panas bumi pasti akan menimbulkan pengaruh terhadap lingkungan. Sebagai contoh, debu pada waktu mobilisasi peralatan berat, kebisingan pada waktu pemboran, hingga terjadinya perubahan lanskap karena adanya instalasi panas bumi. Akan tetapi, ada banyak cara untuk meminimalisir dampak lingkungan sejak awal proses pengembangan. “Dengan cara pembersihan area terdampak, memasang instalasi peredam suara, penggunaan mesin pemboran yang modern, penanaman kembali pada area yang dibuka sementara untuk operasional pemboran, dan masih banyak lagi,” jelasnya.
Sementara, pada aspek sosial, Pri menjelaskan bahwa belum banyak edukasi terkait energi panas bumi yang tersebar di masyarakat. Pri memberi saran kebijakan bahwa panas bumi bukan merupakan komoditas seperti halnya migas, batu bara, dan bahan-bahan tambang, melainkan merupakan aset sumber energi yang sangat kompetitif dibanding energi fosil. “Untuk menjadikannya harganya lebih kompetitif maka harus ada investasi SDM untuk menurunkan risiko biaya eksplorasi dan meningkatkan kehandalan teknologi pemanfaatannya,” katanya.
Penulis : Salwa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik