
Anak gajah di Taman Nasional (TN) Tesso Nilo Riau, Kalistha Lestari atau Tari, ditemukan mati pada 10 September 2025 lalu dengan kondisi perut sedikit menggembung. Tidak ada gejala sakit di hari sebelumnya maupun luka atau trauma di investigasi awal saat Tari ditemukan mati. Sehingga dilakukan pengecekan lanjutan oleh tim dokter hewan untuk melihat penyebab kematiannya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Prof. Dr. drh. Raden Wisnu Nurcahyo, mengaku prihatin dengan kejadian yang hampir setiap tahun menyerang anak-anak gajah di Sumatra. Sebagai hewan yang termasuk ke dalam Appendix I (satwa liar yang terancam punah). Menurut Wisnu, pemerintah dan pihak yang berkepentingan harus selalu waspada dan melindungi terhadap ancaman apapun yang terjadi pada golongan satwa liar tersebut. “Meskipun di luar itu juga banyak, tapi kita prioritaskan yang memang akan terancam punah. Sehingga kita harus mengambil langkah pencegahan supaya tidak terjadi,” ujarnya, senin (13/9).
Menurut Wisnu, penyebab kematian gajah sangat bervariasi. Umumnya berasal dari faktor sisi lingkungan atau habitat. Hal tersebut bisa terjadi ketika habitat terancam karena ada illegal logging, kebakaran hutan, atau alih fungsi lahan karena pembangunan sesuatu. Konflik dengan manusia adalah hal yang paling sering terjadi pada gajah Sumatera. “Gajah itu kan spesies yang punya insting. Jadi, dia punya jalur. Kalau tiba-tiba di situ dihambat, dia akan marah,” jelasnya.
Penyebab lainnya adalah kaitan dengan hal internal, seperti penyakit yang disebabkan oleh parasit, bakteri, virus, ataupun racun. Melihat Tari yang sebelumnya dalam keadaan sehat dan tiba-tiba mati, terdapat kecenderungan bahwa hal tersebut mengacu pada penyakit virus karena pada dasarnya, virus itu cepat dan kematiannya akut. “Saya kira memang harus segera diketahui penyebabnya apa. Tapi, dugaan saya itu virus EEHV, Elephant endotheliotropic herpesvirus, hanya menyerang pada anak gajah,” terangnya.
Dengan penyebaran yang cepat, Wisnu menduga itu berasal dari gajah liar yang kemudian melakukan kontak dengan gajah di penangkaran atau terdapat media virus lain seperti lalat. “Jadi, sebetulnya itu kan edema. Kejadiannya dia menyerang pembuluh darah, pembuluh darah mengalami pendarahan, lalu organ-organ dalam membengkak yang kemudian mungkin terakumulasi juga bisa, ada cairan di dalam perutnya sehingga membesar,” paparnya.
Langkah preventif yang bisa dilakukan untuk menghindari kejadian serupa terulang kembali, kata Wisnu, bisa dilakukan dengan beberapa hal, yakni rutin melakukan pemeriksaan berkala anak gajah lewat pengecekan darah. Apabila dari hasil pemeriksaan darah terdapat indikasi mengarah pada infeksi virus atau lainnya, bisa diberlakukan pemberian vitamin, obat-obatan, mineral, dan sebagainya. Kemudian, melakukan penyegaran lewat pelatihan kembali para dokter hewan yang terkhusus pada kesehatan gajah. Selain itu, perlu adanya perhatian dari pemerintah terhadap gajah-gajah di taman nasional. “Saya kira kita sebagai masyarakat harus peduli pada kelestarian satwa liar. Siapa lagi kalau tidak kita yang peduli pada satwa endemik Indonesia,” harap Wisnu.
Penulis : Alena
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. TN Tesso Nilo