
Hari Literasi Internasional jatuh pada 8 September lalu. Memperingati hari tersebut, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyerukan agar setiap warga dibekali dengan keterampilan literasi untuk mendapatkan manfaat dari digitalisasi. Seruan ini didasarkan pada laporan UNESCO yang memprihatinkan, bahwa empat dari dari sepuluh anak di dunia gagal mencapai kemahiran minimum dalam membaca, sementara 272 juta anak dan remaja putus sekolah pada tahun 2023.
Melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) RI, pemerintah berkomitmen menjaga keamanan ruang digital melalui program Gerakan Literasi Digital Nasional (GLDN) dengan berfokus pada empat pilar yang terdiri atas Cakap Digital, Aman Digital, Budaya Digital, dan Etika Digital atau disingkat dengan CABE.
Komitmen pemerintah ini disambut baik oleh Syaifa Tania, S.I.P., M.A., Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM. Menurutnya, program literasi digital seharusnya tidak hanya berfokus pada kemampuan teknis dalam mengakses media digital, tetapi juga perlu membekali penggunanya dengan kemampuan berpikir kritis dan substantif.
Direktur Eksekutif di Center for Digital Society (CFDS) Fisipol UGM ini menyoroti bahwa misinformasi dan disinformasi adalah tantangan serius dalam akses informasi digital. Tania menjelaskan bahwa meskipun pengguna merasa memiliki literasi digital yang baik, mereka tetap rentan terhadap manipulasi informasi, terutama dengan kecanggihan artificial intelligence (AI) saat ini. “AI memungkinkan adanya manipulasi konten, seperti deepfake, yang sulit dibedakan dari aslinya sehingga kita perlu lebih waspada,” terang Tania, Senin (15/9).
Selain itu, tantangan lain datang dari fenomena echo chamber di media sosial. Seperti diketahui, echo chamber merupakan sikap seseorang yang defensif terhadap pendapat dan perspektifnya sendiri. Adanya keyakinan dan opini yang seolah diamplifikasi tanpa menghadirkan perspektif berbeda. Hal ini diperparah oleh confirmation bias, yaitu kecenderungan psikologis individu untuk mencari informasi yang mendukung pandangan mereka. “Pada titik inilah, literasi digital harus dibarengi dengan kemampuan berpikir kritis.” tegas Tania.
Untuk mengembangkan kemampuan ini, ia mendorong pendekatan inquiry-based learning, yakni proses belajar diarahkan untuk terus mempertanyakan sebuah informasi, misalnya siapa yang mengirimkan informasi tersebut, apa motifnya, apa bukti yang mendukung informasi tersebut.
Ia menambahkan bahwa literasi digital dan kemampuan berpikir kritis merupakan dua hal yang saling berkaitan dan sama pentingnya. Sebab, kemampuan literasi digital memungkinkan seseorang dapat mengakses dan memperoleh informasi di media digital. “Sementara itu, kemampuan berpikir kritis memungkinkan seseorang untuk aktif mencermati, memaknai, dan menganalisis informasi yang diterima. “Karenanya kita tidak menerima begitu saja seluruh informasi yang datang,” pungkasnya.
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kompas.com