
Publik dihebohkan dengan pernyataan kontroversial dari Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, terkait tuntutan 17+8 dari mahasiswa yang menurutnya hanya “suara sebagian kecil rakyat”. Meskipun ia telah meminta maaf, namun publik tetap menilai tidak sepantasnya pejabat publik berucap demikian. Kejadian serupa bukan kali pertama terjadi, beberapa waktu sebelumnya Menteri Agama, Nasarudin juga meminta maaf setelah ucapannya yang terkesan “merendahkan guru”.
Pakar komunikasi politik sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi UGM, Prof. Nyarwi Ahmad, Ph.D mengatakan bahwa setiap pejabat memiliki gaya komunikasinya tersendiri. “Yang pertama, tentu masing-masing pejabat bisa aja dia punya gaya ya atau punya style dalam komunikasi ya,” ungkapnya , Senin (15/9)
Nyarwi pun mengungkapkan bahwa gaya komunikasi tersebut juga dipengaruhi oleh standar penilaian masyarakat. Kadang kala apa yang diucapkan oleh pejabat publik tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat. “Karena biasanya kan masyarakat itu sudah punya bayangan ya, kalau seorang tokoh publik, pimpinan, pembagian negara, itu kan biasanya juga lebih lebih mendengar, lebih menampung harapan dan aspirasi, bahkan paham apa yang diharapkan oleh masyarakat,” jelasnya.
Namun kasus yang dialami oleh Menteri Keuangan tersebut menurutnya memunculkan kontroversi sekaligus kritik atas gaya komunikasi personal. Meskipun bagi Nyarwi setiap pejabat memiliki gaya komunikasinya masing-masing, namun tetap saja apa yang diucapkan oleh pejabat publik harus diawali dengan kehati-hatian. Ia pun merasa bahwa hal tersebut harus diperbaiki kembali untuk kedepannya. Sebab, gelombang aksi yang dilakukan mahasiswa bersama masyarakat terjadi bermula dari ekspresi komunikasi yang dilakukan oleh pejabat. “Ya saya kira Menteri Keuangan harus memperbaiki itu gaya komunikasinya, karena tidak bisa lagi merepresentasikan sekedar dirinya sendiri, tapi lembaga negara yang dipimpinnya,” ungkapnya.
Bagi Nyarwi, pernyataan Menteri yang terus memunculkan kontroversi akan memunculkan bukan hanya respon negatif dari dinamika pelaku pasar, tetapi juga memunculkan reaksi dan ketidakpercayaan masyarakat. Tidak hanya itu, berpotensi memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pejabat tersebut secara personal, bahkan dapat merusak reputasi Presiden.
Untuk menanggapi kasus ini, Nyarwi pun menyarankan bahwa perlu adanya perbaikan terkait gaya komunikasi pejabat publik. Fasilitas yang dimiliki oleh menteri terkait pembentukan tim komunikasi publik, termasuk juru bicara dapat menjadi solusi akan hal tersebut. “Semua kembali lagi ke arah kebijakan yang akan dicapai. Nah balik lagi itu political will dari sistem yang mau dibangun oleh para pejabat, ya mulai dari tingkat atas sampai termasuk level Kementerian,” pungkasnya.
Reporter : Salwa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik