![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/01/0701201578369768871466757-766x510.jpg)
Pakar Batas Maritim UGM, I Made Andi Arsana, menanggapi polemik terkait insiden kapal Cina yang memasuki wilayah perairan di dekat kepulauan Natuna. Ia menyebut bahwa terdapat beberapa pemahaman yang salah di antara masyarakat terkait peristiwa tersebut.
Beberapa pemberitaan di media massa serta percakapan di media sosial, terangnya, seolah mengarahkan opini masyarakat pada pemahaman bahwa Cina berupaya untuk mengklaim kepulauan Natuna. Karena itu, tidak sedikit orang yang kemudian menghubungkan peristiwa ini dengan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia.
Padahal, menurutnya, tidak ada yang membantah atau berusaha mengklaim kedaulatan atas pulau di ujung utara Indonesia tersebut.
“Cina tidak pernah mengklaim Natuna, yang dia lakukan adalah mengklaim laut di sekitar Natuna. Jangan sampai kita memahami Cina mau mengklaim Natuna karena ini hal yang berbeda. Indonesia tidak ada bersengketa pulau sekarang ini,” ucapnya.
Ia menerangkan, yang menjadi persoalan dalam peristiwa ini adalah adanya tumpang tindih antara klaim wilayah perairan dari pemerintah Cina atas dasar faktor historis dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang diukur sepanjang 200 mil dari garis pantai terluar sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
“Cina mengklaim jauh sekali tidak mengikuti aturan itu yaitu seluruh Laut Cina Selatan. Bagi kita, mereka sedang memasuki wilayah ZEE kita, tapi bagi mereka, mereka datang ke wilayah yang termasuk dalam klaim mereka sejak dulu itu,” jelasnya.
Klaim Cina atas perairan Laut Cina Selatan sendiri telah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu dan tercantum dalam peta yang mereka buat di tahun 1947, jauh sebelum pengesahan UNCLOS di tahun 1982. Cina sebetulnya telah meratifikasi UNCLOS yang diakui secara global sebagai dasar penentuan wilayah kedaulatan negara di laut.
Meski demikian, berkaitan dengan Laut Cina Selatan, Cina mengabaikan aturan tersebut atas dasar peta yang dibuat tahun 1947 tersebut dan alasan sejarah yang menyebut bahwa nelayan Cina telah sejak lama menangkap ikan di perairan tersebut.
Berbeda dengan Spratly
Dalam salah satu artikel yang dimuat di media, ia menemukan kutipan pernyataan klaim pemerintah Cina atas kepulauan Nansha. Nama Nansha sendiri merupakan sebutan pemerintah Cina atas wilayah kepulauan di Laut Cina Selatan yang dikenal secara lebih luas dengan nama kepulauan Spratly yang memang masih menjadi sengketa antara Cina dengan sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darusalam.
Indonesia sendiri tidak terlibat di dalam sengketa tersebut dan menempatkan diri sebagai non-claimant state.
“Yang diklaim dalam rilis dari pemerintah CIna adalah Nansha, tapi saya khawatir banyak orang salah menduga bahwa itu adalah Natuna. Ada media yang salah menyampaikan ini,” kata Andi.
Penegakan Hukum secara Sipil
Menanggapi tindakan kapal Cina tersebut, Andi mengungkapkan bahwa Indonesia belum perlu mengambil tindakan militer, melainkan penegakan hukum secara sipil.
“Yang datang itu kan kapal sipil. Sipil itu lawannya sipil. Kalau kita bicara ZEE itu bukan kawasan militer, jadi penegakan hukumnya oleh sipil, bukan oleh militer,” ucapnya.
Indonesia menurutnya tidak lagi perlu melakukan negosiasi terkait batas wilayah dengan Cina karena batas ZEE Indonesia telah jelas dan sah menurut UNCLOS. Meski demikian, Indonesia perlu memiliki kehadiran di wilayah tersebut untuk sepenuhnya memanfaatkan kekayaan alam yang menjadi hak Indonesia dengan adanya ZEE.
“Kehadiran bukan supaya wilayah ini tidak direbut, tapi untuk kesejahteraan. Kalau kita tidak hadir, kita tidak mendapatkan keuntungan,” katanya. (Humas UGM/Gloria)