
Kasus keracunan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali meningkat dan mengundang sorotan masyarakat hingga kalangan akademisi. Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., menilai bahwa akar persoalan terletak pada lemahnya pengawasan dan besarnya target yang ingin dicapai dalam waktu yang singkat.
Sejak diluncurkan pada Januari 2025, program MBG tercatat telah menyebabkan ribuan siswa mengalami keracunan di berbagai wilayah, beberapa diantaranya terjadi di Baubau, Banggai, dan Garut. Alih-alih meningkatkan status gizi siswa, kejadian ini justru mengundang atensi yang mempertanyakan kesiapan pengelolaannya.
Menurut Prof. Sri Raharjo, target pemerintah untuk menyasar 80 juta siswa pada tahun pertama, seperti yang disampaikan Presiden Prabowo di Istana Negara, merupakan langkah yang terburu-buru. “Istilahnya too much too soon, apalagi membangun 30 ribu unit dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) membutuhkan biaya, tenaga, dan sistem yang tidak kecil,” ujarnya, Jumat (26/9) di Kampus UGM.
Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya fokus pada kualitas dan keamanan pangan yang menjamin keamanan setiap porsi.A Adanya kasus keracunan berulang terjadi karena fungsi pengawasan yang sejak awal tidak berjalan baik. Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga baru dinilai belum memiliki cukup sumber daya manusia, sementara SPPG juga belum siap secara menyeluruh. “Jika siswa yang ditargetkan semakin banyak, jumlah SPPG semakin hari juga semakin banyak, tetapi pengawasannya tetap lemah, hal ini relevan dengan kasus keracunan yang meningkat. Apalagi memasak ribuan porsi dalam waktu singkat berpotensi membuat makanan yang tidak matang merata hingga risiko adanya zat beracun dan bakteri patogen yang masih hidup,” jelasnya.
Pada dampak berkepanjangan, Prof. Sri mengingatkan bahwa kegagalan pengelolaan MBG akan merugikan banyak pihak. Selain menurunkan kepercayaan publik, keracunan yang berulang dapat berakibat pada gangguan kesehatan anak, mulai dari diare hingga penurunan nafsu makan, yang bertolak belakang dengan tujuan awal program peningkatan gizi.
Lebih jauh, ia juga menyoroti pentingnya peran payung hukum untuk program MBG yang aman. “Idealnya ada aturan khusus yang mengatur, seperti di Jepang yang memiliki undang-undang resmi tentang makan siang di sekolah. Namun, pembentukan undang-undang tentu membutuhkan waktu,” paparnya.
Sembari mengharapkan perbaikan regulasi dan pengawasan, Prof. Sri menyatakan bahwa sekolah dan orangtua berhak menentukan sikap pada program MBG. Mereka dapat menerima atau menolak penyediaan makanan sesuai kesiapan dan kapasitas SPPG. “Jika mereka merasa program belum siap, mereka bisa menolak dan tidak bisa dipidanakan,” tegasnya.
Dengan munculnya kasus keracunan yang kembali terulang, Sri menekankan pentingnya evaluasi dan pendataan terkait program MBG. Sebuah hal yang sangat penting, mengetahui kondisi status gizi siswa pada awal dan akhir tahun pertama kebijakan dicanangkan. Menurutnya, akan jadi lebih baik apabila pemerintah dapat memastikan kasus keracunan tidak terulang kembali.
Penulis : Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara