
Universitas Gadjah Mada menunjukkan komitmennya dalam memperkuat literasi kebijakan publik melalui penyelenggaraan Sekolah Wartawan. Pada sesi yang digelar Senin (29/9), kegiatan ini menghadirkan Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.IP., M.A. sebagai narasumber dengan tema ‘Menyusun Policy Brief Berbasis Bukti’. Ia menegaskan pentingnya policy brief sebagai jembatan antara riset akademik dengan kebutuhan pengambil keputusan. Dokumen singkat ini membantu pembuat kebijakan menavigasi dilema dengan rekomendasi yang ringkas, fokus, dan berbasis data kredibel. “Policy brief adalah cara paling tepat untuk memberi masukan agar pemerintah bisa segera bertindak,” ujar Alfath.
Dalam pemaparannya, Alfath menyebut bahwa kebijakan publik selalu lahir dari dilema yang sulit dihindari. Ia mencontohkan kasus pembangunan kereta cepat maupun pemindahan ibu kota yang sarat tarik-menarik kepentingan. Policy brief berbasis bukti, kata Alfath, dapat membantu mengurai kompleksitas tersebut dengan menampilkan pilihan yang terukur. Bukti yang kuat menjadikan rekomendasi lebih kredibel di mata pembuat kebijakan. “Kehidupan kita dihadapkan pada dilema, dan tugas policy brief adalah mengelola dilema itu dengan pijakan bukti,” jelasnya.
Ia juga menyoroti perbedaan besar antara negara maju dan Indonesia dalam proses pembuatan kebijakan. Jika di negara maju keputusan diambil berdasarkan riset, di Indonesia sering kali insting dan kepentingan lebih dominan. Kondisi ini membuat kebijakan rawan tidak efektif bahkan membebani publik. Alfath menegaskan bahwa keberanian menggunakan sains sangat menentukan kualitas kebijakan. “Problem kita adalah terlalu sering kebijakan dibuat berbasis insting, bukan sains,” tegas Alfath.
Sejarah lahirnya evidence-based policy menurut Alfath bisa ditelusuri ke masa Depresi Besar di Amerika Serikat tahun 1930-an. Presiden Franklin D. Roosevelt saat itu mendorong eksperimen berani dengan prinsip belajar dari kegagalan. Pendekatan ini menekankan pentingnya mencoba, mengevaluasi, lalu menyesuaikan kebijakan dengan kondisi nyata. Prinsip tersebut menurut Alfath relevan bagi pembuat kebijakan di Indonesia yang kerap berhadapan dengan ketidakpastian. “Kalau kita tidak tahu jawabannya, maka kita harus berani mencoba dan belajar dari prosesnya,” ungkapnya.
Namun, menyusun policy brief berbasis bukti bukan tanpa tantangan. Salah satu kendala utama adalah ketidakselarasan antara siklus riset dengan kebutuhan kebijakan yang menuntut respons cepat. Sering kali hasil penelitian baru tersedia setelah kebijakan berjalan, sehingga sulit memberi pengaruh langsung. Untuk itu, Alfath menyarankan metode alternatif seperti realist synthesis yang menggali konteks, mekanisme, dan hasil kebijakan. “Siklus kebijakan bergerak lebih cepat daripada siklus riset, sehingga kita perlu pendekatan baru yang lebih adaptif,” kata Alfath.
Ia memberi contoh penerapan realist synthesis pada program Posyandu dalam penanganan stunting. Pendekatan ini tidak hanya menyoroti penurunan angka stunting secara agregat, tetapi juga faktor konteks seperti kader yang aktif, dukungan dana desa, dan kepercayaan masyarakat. Dengan memahami hubungan antara konteks, mekanisme, dan hasil, rekomendasi kebijakan menjadi lebih tepat sasaran. Menurut Alfath, cara ini menunjukkan pentingnya mengombinasikan pengetahuan generalis dan spesialis. “Program yang berhasil di satu tempat bisa gagal di tempat lain jika konteksnya tidak diperhitungkan,” ujarnya.
Selain kualitas bukti, faktor politik juga berperan besar dalam menentukan keberhasilan policy brief. Pengetahuan tentang siapa aktor yang berkuasa, kepentingan yang bermain, serta momen politik yang tepat sangat memengaruhi penerimaan rekomendasi. Tanpa memperhatikan hal ini, policy brief berisiko hanya menjadi dokumen yang diabaikan. Alfath mengingatkan bahwa penyusun policy brief perlu cermat dalam memilih audiens sasaran. “Policy brief harus diarahkan pada pihak yang punya otoritas dan kepentingan untuk mengubah kebijakan,” tuturnya.
Di akhir sesi, Alfath mendorong peserta untuk menjembatani dunia riset dengan dunia kebijakan melalui policy brief. Baginya, akademisi, wartawan, maupun praktisi memiliki tanggung jawab sosial untuk memastikan riset memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Penyusunan policy brief, lanjutnya, bukan semata keterampilan teknis melainkan wujud keberpihakan pada publik. “Kebijakan berbasis bukti adalah wujud keberpihakan kita pada masyarakat,” pungkas Alfath.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Donnie