
Kajian Bidang Kajian Kewirausahaan, Inovasi, dan UMKM FEB UGM bersama Bank Indonesia mengungkap mayoritas UMKM di Indonesia belum mengadopsi praktik bisnis ramah lingkungan. Meski menopang lebih dari separuh perekonomian Indonesia, Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih menghadapi sejumlah tantangan besar dalam transisi menuju praktik bisnis ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selain hambatan regulasi, sebagian besar UMKM masih dihadapkan pada persoalan infrastruktur pembiayaan hijau, biaya investasi tinggi hingga minimnya insentif.
Peneliti Bidang Kajian Kewirausahaan, Inovasi, dan UMKM FEB UGM, Widya Paramita, Ph.D mengungkap fakta sebanyak 87,81 persen UMKM di Indonesia belum mengadopsi praktik bisnis hijau atau ramah lingkungan. Sedangkan 12,19 persen lainnya sudah mengadopsi praktik bisnis hijau meski belum melakukan secara menyeluruh. “Meski regulasi yang mengatur pembiayaan hijau telah tersedia, namun hingga kini ada produk pembiayaan hijau dengan target UMKM hijau yang bisa diimplementasikan di Indonesia,” ujarnya di Kampus UGM, Rabu (1/10).
Beberapa regulasi yang mengatur pembiayaan hijau diantaranya Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 Pasal 109 mengenai komitmen perseroan melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dalam pembangunan berkelanjutan, Undang-Undang No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pasal 35A dan 35B, dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres 98/2021). Ada pula Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Perpres 50/2017), hingga dan Peraturan OJK No. 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Emiten, dan Perusahaan Publik.
Sayang, meski banyak regulasi yang mengatur sejauh ini lembaga keuangan dan non keuangan belum mengimplementasikan pembiayaan hijau kepada UMKM. Menurut Mita, masih terdapat ambiguitas dan kendala dalam penerapan regulasi tersebut. Disebutnya sejumlah kendala yang dihadapi oleh UMKM dalam implementasi pembiayaan hijau antara lain kompleksitas persyaratan pembiayaan hijau dan kriteria UMKM Hijau, keterbatasan infrastruktur pembiayaan hijau dan insentif untuk melakukan praktik hijau, kesulitan menarik investor, dan adanya kesenjangan persepsi risiko pinjaman antara UMKM dan lembaga keuangan.
Belum lagi soal keterbatasan pengetahuan hijau dari sisi supply pada lembaga penyedia pembiayaan hijau, dan kurangnya kesadaran, pengetahuan, kapasitas dan kapabilitas UMKM untuk melakukan praktik hijau, serta kesulitan akses sertifikasi hijau bagi UMKM yang beralih ke praktik hijau. Sementara dari sisi demand, kebutuhan pembiayaan hijau untuk UMKM di setiap kategori relatif sama. “Kebutuhan tersebut adalah untuk membiayai akuisisi peralatan dan teknologi, akses ke pasar yang berminat pada produk hijau dan peningkatan pangsa pasar, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, hingga pemasaran untuk praktik bisnis hijau. Perbedaannya terletak pada kebutuhan sertifikasi hijau untuk UMKM eco-entrepreneur, dan pengadaan bahan baku produk hijau serta akses ke pasar domestik maupun internasional untuk UMKM ecoinnovator,” terangnya.
Mita mengakui dalam mewujudkan praktik bisnis hijau diperlukan investasi modal yang tinggi. Hanya saja, manfaat dari investasi tersebut tidak dapat diperoleh dalam waktu dekat karena animo pasar terhadap produk hijau masih rendah. Disisi lain kemampuan modal UMKM terbatas, dan mereka dituntut pengembalian investasi dalam jangka pendek agar operasional bisnis tetap berjalan. Karena itu agar bisa mengakselerasi penerapan praktik hijau dalam bisnis, pemberian insentif untuk melakukan praktik hijau dan insentif pembiayaan hijau sangat diharapkan para pelaku UMKM. Selain pemberian bunga yang lebih rendah daripada pinjaman non hijau, bentuk insentif yang diharapkan adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Sementara inisiatif non kredit yang mendukung praktik hijau bagi UMKM telah tersedia dalam berbagai macam bentuk antara lain bantuan dana hibah dan program pendampingan UMKM untuk penerapan praktik hijau. Inisiatif ini biasanya dilakukan perusahaan melalui program CSR yang dikhususkan untuk mendorong praktik hijau pada UMKM, diantaranya program Wirausaha Muda dan Womenpreneur yang memberikan reward dana hibah dan juga pendampingan melalui kompetisi yang diselenggarakan secara berkala, seperti Hyundai Startup Challenge yang memberikan hadiah dana sebagai stimulus untuk pemenang kompetisi, dan juga program BUMI dari BNI yang juga memberikan dana dan pendampingan melalui kompetisi untuk UMKM yang mengadopsi praktik hijau.
“Inisiatif non kredit ini tentu sangat bermanfaat. Disamping memberi bantuan dana, program semacam ini seringkali disertai pendampingan yang sangat membantu UMKM dalam usahanya mengadopsi praktik hijau dalam operasional bisnisnya. Cara-cara semacam inipun bisa mengisi kekosongan atau ketiadaan produk pembiayaan hijau saat ini sehingga menjadi alternatif program yang dapat membantu mendorong praktik keberlanjutan bisnis UMKM,” urainya.
Menurut Mita untuk mendorong UMKM agar dapat berpartisipasi dalam aktivitas bisnis hijau diperlukan serangkaian langkah strategis. UMKM perlu mendapatkan pendampingan menyeluruh di aspek produksi, keuangan, dan pemasaran, dan dalam jangka pendek perlu melakukan pendampinganterhadap UMKM yang belum mengadopsi bisnis hijau agar dapat segera bertransformasi.
Sektor manufaktur dan perdagangan perlu dijadikan prioritas utama dalam penyaluran pembiayaan hijau, dan dukungan bagi UMKM untuk memperoleh sertifikasi hijau harus diperkuat. Dari sisi kolaborasi maka diperlukan peningkatan kerja sama antara pemerintah, lembaga keuangan, dan akademisi. “Sinergi ini diperlukan untuk memastikan UMKM mendapatkan pendampingan yang tepat dalam mengakses pembiayaan hijau. Ragam skema pembiayaan hijau juga perlu ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan UMKM,” imbuhnya.
Agar UMKM dan lembaga keuangan berpartisipasi dalam pasar pembiayaan hijau, Mita berpandangan sosialisasi mengenai ketersediaan pembiayaan hijau, pendampingan, dan subsidi, serta pemberian insentif perlu dilakukan SECARA lebih luas. Tak kalah penting juga soal peran lembaga pendukung seperti agregator, akselerator, dan inkubator perlu diperkuat melalui integrasi program mereka dengan skema pembiayaan hijau. “Kami juga merekomendasikan agar peran Bank Indonesia dalam membina UMKM terus ditingkatkan, sehingga kesiapan UMKM untuk memasuki pasar pembiayaan hijau semakin optimal,” tutupnya.
Mita mengaku hasil kajian ini telah didiseminasikan dalam acara Seminar Nasional Ekonomi Keuangan Hijau yang diadakan di Jakarta Convention Center Sebagai bagian dari rangkaian Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2025, yang diselenggarakan Bank Indonesia. Seminar mengusung tema “Penguatan Sinergi Pembiayaan Hijau Dalam Mendukung Transisi Ekonomi Berkelanjutan digelar pada Jumat, 8 Agustus 2025 lalu di Jakarta Convention Center. Acara ini menghadirkan beberapa narasumber yaitu Destry Damayanti Deputi Gubernur selaku Senior BI, Nita Anastuti selaku Kepala Departemen Ekonomi Inklusif dan Hijau, Alexandra Askandar selaku Deputi Presdir BNI, dan Kurniawan Agung W selaku Kepala GEKH. FEB UGM yang diwakili oleh salah satu peneliti Bidang Kajian Kewirausahaan, Inovasi, dan UMKM, Widya Paramita, Ph.D., turut hadir menyampaikan hasil kajian ekosistem pembiayaan hijau dan rekomendasi untuk memperkuat kebijakan pembiayaan hijau. Riset tersebut dilakukan pada tahun 2024 dengan melibatkan 631 UMKM di Indonesia di sektor pertanian, perdagangan, serta manufaktur.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum/Humas FEB
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Aliansi Zero Waste Indonesia & FEB UGM