
Pemerintah pusat memasukkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu program prioritas dalam proyek pembangunan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Rencana pembangunan ini kemudian ditargetkan untuk mulai beroperasi pada 2027 dinilai sebagai langkah cepat untuk mengatasi persoalan sampah yang kian menggunung. Meski demikian, menurut pakar Teknik Bioproses UGM Prof. Wiratni, S.T., M.T., Ph.D, keberhasilan proyek ini sangat bergantung pada kesiapan teknis dan perubahan perilaku masyarakat sebagai penghasil sampah.
Wiratni menekankan bahwa proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) akan menjadi proyek yang optimal jika disertai dengan pemilahan sampah yang baik. Sampah yang masuk ke fasilitas ini sebaiknya berupa sampah kering agar efisiensi termal terjaga dan peralatan tidak cepat rusak. “Jika sampah masih bercampur antara organik dan anorganik, proses akan merugi dan investasi berisiko sia-sia. PLTSa memang bisa dilengkapi dengan alat pengering, tetapi hal itu meningkatkan biaya operasional sekaligus menimbulkan bau yang mengganggu,” jelasnya, kamis (1/10).
Lebih lanjut, Wiratni menilai bahwa PLTSa sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya andalan dalam penanganan sampah. Akar masalah sesungguhnya, ujarnya, ada pada manusia selaku penghasil sampah. “Proyek PLTSa ini sebenarnya merupakan proyek idealis dalam konteks energi terbarukan. Filosofinya sangat bagus, tetapi secara keekonomian tidak bisa bersaing dengan listrik konvensional. Karena itu, strategi pemanfaatan listrik perlu dibuat lebih inovatif,” ungkapnya.
Menurutnya, penjualan listrik ke PLN tidak cukup menjamin kelayakan ekonomi proyek. Perhitungan keekonomian PLTSa harus memperhitungkan tipping fee atau biaya pembuangan sampah di fasilitas pengelolaan sampah yang realistis. Ia menekankan bahwa masyarakat perlu menyamakan persepsi bahwa pengelolaan sampah adalah industri jasa, bukan sekadar pelayanan. Dengan begitu, masyarakat sebagai penghasil sampah akan memiliki rasa tanggung jawab lebih besar untuk mengurangi sampah sejak dari sumber.
Wiratni juga menambahkan bahwa fraksi organik memang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku energi jika melalui proses pengeringan terlebih dahulu. Namun, karakter sampah organik yang mudah membusuk dan berbau membuat pengangkutannya dalam skala besar tidak efisien. “Permasalahan sampah organik bukan soal bisa atau tidak menjadi energi, melainkan pada proses pengangkutan dari sumber ke lokasi pengolahan. Agar ekonomis, diperlukan skala besar, tetapi hal itu justru berpotensi menimbulkan masalah serupa dengan TPA Piyungan,” jelasnya.
Untuk sampah organik direkomendasikan untuk tetap desentralisasi untuk semaksimal mungkin selesai di level rumah tangga atau komunal di lokasi yang tidak terlalu jauh dari sumbernya, dengan pengolahan yang realistis pada skala kecil, misalnya komposting atau maggot. Sampah organik basah juga tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai bahan baku energi terbarukan, terutama karena masalah pengangkutan dari sumber sampah ke titik pengolahan yang belum mampu menjamin tidak menimbulkan bau dan potensi penyakit di sepanjang perjalanan.
Seperti fasilitas berskala besar lainnya, PLTSa tentu juga memiliki risiko dampak lingkungan, terutama emisi gas hasil pembakaran dan residu abu yang berpotensi mengandung senyawa berbahaya. Namun, risiko ini dapat diminimalisir dengan teknologi yang tepat. “Sudah banyak rambu-rambu untuk mencegah dampak negatif ini, misalnya mengacu pada ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup tentang ambang batas kandungan senyawa-senyawa tersebut, memasang peralatan yang tepat, dan juga alat-alat ukur untuk monitoring,” ujarnya.
Sebagai langkah praktis, Wiratni merekomendasikan pemberlakuan mekanisme insentif dan disinsentif agar masyarakat terdorong memilah dan mengurangi sampah. Selain itu, pemerintah perlu memetakan sumber-sumber sampah serta ekosistem off-taker yang sudah ada, seperti bank sampah dan pelaku usaha daur ulang. “Dengan pemetaan itu, kapasitas PLTSa bisa difokuskan hanya pada sampah residu yang benar-benar tidak dapat diolah. Perhitungan keekonomian jangan hanya mengandalkan penjualan listrik ke PLN, tetapi harus disertai mekanisme tipping fee sebagai disinsentif. Jangan sampai PLTSa justru membutuhkan lebih banyak sampah, karena arah kita seharusnya menuju zero waste dengan ekosistem ekonomi sirkuler,” pungkasnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kompas