
Selama kurang lebih empat tahun, Mahasiswa jenjang doktor FK-KMK UGM dr. Heni Retno Wulan, M.Kes., Sp.PD-KP, melakukan penelitian terkait penggunaan obat terapi pada Covid-19. Pasalnya, selama masa pandemi lalu, institusi kesehatan mendorong penggunaan berbagai terapi darurat, termasuk remdesivir dan oseltamivir yang saat itu diberikan berdasarkan Emergency Use Authorization (EUA) arahan dari pemerintah. Namun, penentuan obat ini terdapat beberapa kelemahan yang belum lengkap sehingga diperlukan evaluasi berkala
Heni memutuskan untuk meneliti langsung pengalaman klinis di lapangan. Ia mengkaji data pasien di RSUP Dr. Sardjito dengan desain retrospektif kohort atau meninjau data masa lalu untuk mengidentifikasi kelompok dalam obat antivirus remdesivir dan oseltamivir bekerja pada konteks real-world setting.
Dari hasil penelitiannya, diketahui efektivitas remdesivir lebih optimal bila diberikan pada fase awal yakni 7 hari pertama gejala). Pada periode ini, replikasi virus masih dominan dan respon inflamasi belum maksimal. “Jika pemberian lebih dari 7 hari, efektivitas obat akan menurun terutama pada pasien dengan derajat berat dan kritis,” kata Heni pada ujian terbuka yang berlangsung di FK-KMK, Rabu (1/10),
Penelitian disertasinya yang berjudul “Efektivitas dan Keamanan Remdesivir Dibanding Oseltamivir pada Pasien Covid-19 Derajat Berat dan Kritis di RSUP Dr. Sardjito”, Heni memberi catatan bahwa 93 persen remdesivir terikat albumin (protein darah), sementara sebagian besar pasien Covid-19 berat dan kritis mengalami hipoalbumin (kadar albumin rendah dalam darah). Ia menyarankan agar perbaikan kadar albumin menjadi bagian dari tata laksana sebelum pemberian remdesivir. “Untuk praktik klinis, pemberian remdesivir sejak awal khususnya dalam tujuh hari pertama gejala agar lebih tepat replikasi virus dapat ditekan, kemudian baru dilanjutkan dengan oseltamivir,” tekan beliau.
Melihat kasus di era sekarang, Heni menekankan bahwa pada kondisi pasca-EUA, efektivitas remdesivir tidak lebih baik dibanding oseltamivir. Sehingga, menurutnya, penggunaan obat tersebut sebaiknya diprioritaskan untuk kelompok tertentu saja atau dipertimbangkan terapi lain yang lebih efektif.
Di akhir sidang, dewan penguji menyatakan Heni lulus dengan predikat cumlaude. Ia resmi menjadi Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, sekaligus menjadi Doktor ke-6683 yang lulus ujian di UGM. Selaku promotornya, Prof. Yanri, mengapresiasi perjuangan panjang yang ditempuh oleh Heni. “Topik penelitian ini kompleks, tetapi Doktor Heni berhasil menunjukkan integrasi ilmu klinis dan farmakologi. Harapannya, hasil ini dapat menjadi template dalam menilai dan memberikan terapi dengan lebih tepat,” pesannya.
Penulis : Hanifah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik