Dirjen Kerja Sama Asean, Kementerian Luar Negeri RI, Jose Antonio Morato Tavares, menyebutkan saat ini sudah terbentuk 58 Pusat Studi Asean di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Pembentukan Pusat Studi Asean ini sebagai lembaga yang melakukan riset, konsultasi, dan publikasi, untuk mempromosikan kerja sama ASEAN kepada para pemangku kepentingan secara luas. Menurutnya dasar pembentukan pusat studi ini berangkat dari Nota Kesepahaman Kemenlu dengan perguruan tinggi tentang kerja sama bidang pendidikan, pengkajian ilmiah dan pengabdian kepada masyarakat.
Rencananya, kata Dirjen, Pusat Studi Asean ini akan dikelompokkan pada bidang politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Selanjutnya PSA diharapkan dapat mengidentifikasi isu spesifik yang akan didalami terkait pilar tersebut. “Masing-masing PSA kiranya dapat menyusun program kegiatan riset, konsultasi, dan publikasi, untuk mempromosikan kerja sama ASEAN diharapkan dapat lebih dirasakan,” katanya.
Pemerintah menurutnya mengharapkan Pusat Studi Asean bisa diminta bantuan untuk melakukan kajian dan riset dalam pengambilan kebijakan luar ngeri RI seperti riset soal posisi RI dalam batas maritim dan kepemilikan pulau di kawasan laut China selatan. Meski sudah ada aturan aturan internasional yang sudah dipublikasikan harus dituruti. “Menurut saya ada gap atau hal-hal yang belum diatur yang bisa diisi dan dilengkapi,” ujarnya.
Ia menambahkan, Pusat Studi Asean juga melakukan kajian terhadap pada hukum internasional yang ada dokumen yang perlu dilengkapi pada aturan internasional. Sebab, tidak ada riset yang banyak mengkaji masalah itu. “Selama ini belum ada penelitian jika ada bisa dibawa negosiasi kita dalam perundingan laut cina selatan,” ujarnya.
Selain itu, Pusat Studi Asean juga mengkaji potensi pasar perdagangan bebas Asean dan posisi RI dalam mengambil peran yang lebih maksimal.
Pakar Geodesi Hukum Laut dari Fakultas Teknik UGM, I Made Andi Arsana, Ph.D, mengatakan sengketa batas maritim dan kepemilikan pulau di kawasan laut Cina selatan sampai dengan saat ini belum selesai. Ia menyebutkan ada sekitar lebih 200 pulau yang masih disengketakan. “Dua ratusan pulau bermasalah di laut Cina selatan yang menimbulkan konflik kepemilikan pulaunya belum jelas,” katanya.
Masing-masing negara seperti Vietnam, Malaysia, Brunai, Filipina hingga Cina saat ini menurutnya mengklaim memiliki pulau tersebut. Kepastian kepemilikan pulau tersebut menurutnya menentukan batas wilayah maritim RI. Meski Indonesia tidak berkepentingan pada perebutan pulau tersebut, namun Indonesia menurutnya juga perlu memperhatikan soal batas maritim wilayah kelautan RI di sekitar wilayah laut Cina selatan. “Indonesia berhak atas ruang lautnya, misalnya wilayah Natuna Utara dan batas zona 200 mil laut dari pulau terluar bisa tumpang tindih dengan negara lain,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)