
Sebuah proyek riset internasional tengah dijalankan Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama University of Sussex, dan Universitas Indonesia (UI). Proyek bertajuk Participation of Women in Renewable Energy (POWERE) ini menaruh perhatian pada pemanfaatan floating photovoltaic (FPV) atau panel surya terapung di kawasan pesisir, sekaligus memberdayakan perempuan dalam pengelolaannya. Memutuskan riset lapangan di Pulau Tanakeke, Sulawesi Selatan, proyek ini berlangsung dari Januari 2025 hingga Desember 2028 mendatang.
Menariknya, penelitian ini adalah diinisiasi oleh Prof. Raminder Kaur, antropolog dari University of Sussex yang kini ia pindah ke University of Manchester dan Dr. Muhammad Zamzam Fauzanafi, M.A., dosen Antropologi UGM, serta kolega lainnya dalam membangun teori mengenai antropologi energi. Penelitian ini berkontribusi pada berkembangnya subdisiplin antropologi energi, yang mengkaji hubungan antara energi, teknologi, dan masyarakat. “Fokusnya tidak hanya pada aspek teknis panel surya, tetapi juga bagaimana teknologi tersebut dipahami, diterima, atau bahkan dimodifikasi oleh komunitas setempat,” kata Zamzam, Senin (6/10).
Zamzam mengisahkan bahwa hidup manusia itu tidak sepenuhnya ditentukan oleh manusianya sendiri, tetapi juga relasi dengan unsur non-manusia. Menurutnya, ditemukan bahwa unsur lain seperti infrastruktur dan materialitas juga dianggap sama penting. “Jadi, kita dapat melihat relasi manusia dengan teknologi, air, angin, bahkan bahan-bahan yang digunakan dalam instalasi energi itu sendiri,” jelas Zamzam selaku co-leader dalam proyek penelitian ini.
POWERE menekankan keterlibatan perempuan melalui kelompok swadaya (SHG), karena dalam banyak kasus, kata Zamzam, perempuan lebih dekat dengan kebutuhan energi sehari-hari. Model proyek ini diarahkan untuk mendukung SHG yang menjadi bagian dari BUMDes di bidang budidaya rumput laut, agar dapat beralih dari penggunaan energi berbasis solar ke pemanfaatan floating photovoltaic (FPV) di Sulawesi Selatan.“Program yang digerakkan perempuan umumnya lebih tertib dan berkelanjutan. Namun, dalam isu energi mereka kerap dipinggirkan,” ungkapnya.
Melalui proyek ini, perempuan didorong untuk menjadi pengelola utama, misalnya mengoperasikan panel surya untuk usaha pengeringan rumput laut atau tenaga baterai perahu. Riset lapangan proyek ini berlangsung selama setahun, sementara program secara keseluruhan dirancang untuk tiga tahun. Selama proses berlangsung, ia menekankan bahwa pengembangan FPV ini dapat bermanfaat yang bukan sekadar proyek formalitas. Ke depan, hasilnya diharapkan bisa direplikasi ke kawasan lain pada Asia Tenggara maupun Afrika. “Banyak program energi sebelumnya gagal karena tidak melibatkan komunitas. Kami ingin memastikan kali ini berjalan berkelanjutan,” tegasnya.
Selain menghasilkan publikasi akademik, Zamzam dan tim mengusahakan proyek ini dapat menjadi pembelajaran praktis bagi komunitas lain dalam mengelola energi terbarukan berbasis masyarakat dan kesetaraan gender. Ia mengungkapkan bahwa manfaatnya sekaligus ganda, baik secara ilmiah memperkaya kajian antropologi energi, sekaligus secara praktis memberi akses energi pada masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
Penulis : Hanifah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : ScienceDirect