
Mahasiswa Magister Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Vanya Putri Damayanti, menjadi salah satu peserta terpilih dalam UNESCO-NUS-SEU Field School 2025 bertema “Cultural Heritage and Climate Change in Asia: Impacts, Adaptation, and Mitigation” yang diselenggarakan di Nanjing dan Yangzhou, Tiongkok, pada 20–28 September 2025 silam. Kegiatan ini mempertemukan mahasiswa, dosen dan praktisi dari berbagai universitas di Asia untuk membahas isu konservasi warisan budaya di tengah perubahan iklim. “Mengikuti field school ini merupakan pengalaman yang luar biasa dan sangat berharga bagi saya,” ungkap Vanya, Senin (6/10).
Kegiatan yang digelar UNESCO bekerja sama dengan National University of Singapore (NUS) dan Southeast University (SEU) ini menghadirkan 29 mahasiswa dari tujuh universitas di Asia, termasuk UGM, Ritsumeikan University, Korea National University of Heritage, Universitas Malaya, dan Silpakorn University. Para peserta mengikuti rangkaian kuliah tematik, lokakarya, dan kunjungan lapangan ke situs-situs bersejarah seperti Grand Canal dan Dongguan Garden Residences. “Setiap sesi benar-benar berisi, karena diisi oleh profesor dan praktisi dari berbagai negara dengan perspektif yang beragam,” ujar Vanya.
Proses seleksi peserta dilakukan secara ketat melalui penilaian esai dan wawancara, hingga akhirnya Vanya terpilih mewakili UGM. Ia mengaku pengalaman ini memberinya kesempatan untuk memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman tentang manajemen risiko dalam konservasi bangunan bersejarah. “Dari kegiatan ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan baru, wawasan, dan koneksi lintas negara,” kata Vanya.
Dalam kegiatan tersebut, Vanya berkesempatan membawakan studi kasus Auspicious House atau Liu Xiang House yang terletak di Dongguan Street, Yangzhou. Ia bersama tim internasional melakukan observasi langsung, berdialog dengan pemilik rumah, serta menilai nilai sejarah, sosial, dan ekonomi bangunan tersebut. “Kami juga menyusun disaster imagination game dan melakukan hazard and climate assessment untuk mengidentifikasi risiko yang dihadapi bangunan heritage tersebut,” jelasnya.
Pengalaman lintas budaya menjadi bagian yang paling berkesan bagi Vanya. Ia belajar berkolaborasi dengan rekan-rekan dari berbagai negara dengan latar belakang akademik yang berbeda, sekaligus memahami bagaimana masyarakat lokal berperan dalam menjaga warisan budaya mereka. “Diskusi lintas negara ini membuka cara pandang baru tentang bagaimana melindungi warisan budaya di tengah tantangan perubahan iklim,” tuturnya.
Selain dukungan akademik dari UGM, Vanya juga mendapat bimbingan langsung dari dosen pembimbingnya, Dr. Laretna T. Adhisakti, yang turut mengajar dalam salah satu sesi field school bertopik indigenous local knowledge. Menurutnya, kehadiran dosen pembimbing memberi panduan yang berharga dalam memahami isu heritage dari sisi akademik dan praktis. “Beliau tidak hanya memberikan arahan akademik, tetapi juga menjadi sumber motivasi dan inspirasi,” ungkapnya.
Bagi Vanya, pengalaman mengikuti field school ini tidak hanya memperkaya ilmu, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kolaborasi lintas negara dalam menjaga warisan budaya. Ia berharap program Asian Heritage Movement dapat terus berlanjut sebagai wadah berbagi pengetahuan dan mendorong aksi nyata di tingkat lokal. “Heritage tidak akan hidup tanpa masyarakat di dalamnya. Kita harus menjaganya dengan kesadaran dan partisipasi bersama,” ujar Vanya.
Sebagai Diajeng Kota Yogyakarta sekaligus mahasiswa Magister Arsitektur, Vanya bertekad menerapkan pengalaman internasionalnya untuk memperkuat upaya pelestarian di kotanya sendiri. Saat ini ia tengah meneliti kawasan Kotagede sebagai bagian dari studi tesisnya mengenai konservasi kawasan bersejarah. “Dari diri kita sendiri, kita bisa mulai dengan langkah kecil untuk menjaga dan menghidupkan kembali warisan budaya yang kita miliki,” pungkasnya.